Sunday, 19 December 2021

“SAAT NURANI MENGGUGAT”

 Oleh: Putri Nani_IH’20


“kring,,,kring,,,kring,,,”. Bel tanda masuk setelah istirahat kedua berteriak nyaring memberi tanda kepada kami bahwa saat bermain telah usai. Bunyi bel yang persis seperti bunyi bel sepeda yang biasa ku kendarai saat berangkat dan pulang sekolah itu menggerakanku dan beberapa temanku untuk bergegas dan melesat ke kelas kami masing – masing. Ku lihat beberapa teman sekelasku masih ada yang mengunyah tempe gorengnya, ada yang masih menyedot estehnya, dan beberapa yang lain sudah mulai menyiapkan diri menerima pelajaran ke-7 yaitu IPS.

Tak lama kemudian Pak Son guru IPS kami, memasuki kelasku. Teman-temanku yang belum menyelesaikan makanan dan minumannya, secara reflek memasukan jajan dan minumannya ke laci mereka. Pak Son menyapa kami dengan ucapan salam yang langsung di jawab serentak oleh teman-teman di kelasku. Pelajaran pun di mulai. Kami mendengarkan ceramah dari Pak Son kurang lebih selama 60 menit. Menjelang pulang, Pak Son mengumumkan bahwa besok pagi beliau akan mengadakan ulangan harian. Beberapa anak mulai ribut. Astri bertanya, “Materinya dari bab berapa sampai bab berapa Pak?” Pak Son menjawab “Materinya dari bab 1 sampai bab 3 di tambah latihan soal yang ada di buku LKS (Lembar Kerja Siswa), okay?” semua siswa menjawab serentak dengan wajah lesu “Baik, Pak!”. Setelah itu, berapa anak mulai kasak-kusuk sibuk mengeluh tentang banyaknya materi yang harus mereka pelajari nanti malam.

Tiba – tiba saat kelas masih ribut, lagu “Gelang Sipaku Gelang” mulai berkumandang dan menghentikan keributan di kelasku. “Sebelum pulang, mari kita akhiri pelajaran hari ini dengan do’a terlebih dahulu!” perintah Pak Son. Aku segera berkemas, ku masukkan semua peralatan sekolahku ke dalam tas, ku lihat sekelilingku. Tampaknya teman yang lain pun melakukan hal yang serupa denganku. Dalam hitungan beberapa menit, semuanya sudah siap untuk pulang. “Siap, grak. Berdoa mulai!” ujar ketua kelas memberi aba-aba berdoa. Kami pun serentak menundukkan kepala, mengucapkan doa kami masing-masing. “Selesai, memberi salam!” perintah ketua kelas. Kami mengucapkan salam secara serempak. Pak Son membalas salam kami, setelah Pak Son meninggalkan kelas kami, kami langsung menghambur bagai kelereng di lontarkan dari tempat penyimpanannya. Ada yang melesat bagai anak panah di tembakkan dari busurnya, ada yang berjalan biasa-biasa saja sambil ngobrol dengan temannya, ada yang berjalan gontai tanpa semangat.


“Put, pulang bareng yuk!” ajak Sindi sahabat baikku, saat kami mengambil sepeda di tempat parkiran. “Ayuk!” sahutku. Kami mengendarai sepeda bersisian. Kebetulan rumahku dan rumah Sindi satu jalur. 

Sepanjang jalan pulang, aku tak banyak bicara. Pikiranku berkelindan kesana kemari. Aku memikirkan ulangan IPS besok pagi dan memikirkan kedua orang tuaku yang sibuk bertengkar setiap hari. Dalam hati aku berkata, “Dapatkah nanti malam aku belajar dengan tenang?”. Meski pikiranku melayang-layang, aku dapat merasakan bahwa sesekali Sindi melirik ke arahku. Aku yakin dia ingin menanyakan kenapa aku diam saja, apa yang aku pikirkan, dan sebagainya. Tapi, aku sedang tak ingin bicara. Rupanya Sindi dapat memahami situasiku. Dia urung bertanya ini itu.

Setelah 10 menit ku kayuh sepedaku. Aku berpisah jalan dengan Sindi karena aku sudah sampai di rumah. Aku mealambai kepada Sindi yang terus mengayuh sepedanya.

“Assalamu’alaikum” ucapku saat masuk rumah. Aku tidak menyangka salamku di jawab dengan kompak oleh Ayah dan Ibuku yang sedang duduk-duduk di ruang tamu. Dalam hati aku berkata sinis, “Kalian tidak bisa membohongi anakmu ini, Ayah, Ibu. Putri sudah tau yang sebenarnya. Setiap malam kalian selalu bertengkar. Kalian pikir, Putri tidak mendengarkan pertengkaran itu?”

Aku menyembunyikan perasaan sedihku di sudut hatiku yang terdalam. Di hadapan mereka aku selalu mencoba untuk tersenyum. Ku salami keduanya dan kucium tangan keduanya. Tanpa banyak bicara, aku segera menuju ke kamarku untuk berganti pakaian, ambil air wudhu, dan ku temui Tuhanku. Satu – satunya Dzat tempatku bersandar dan berkeluh kesah.

“Tok,,,tok,,,tok,,,” Tiba – tiba pintu kamarku diketuk orang. Aku tahu itu pasti Ibuku. “Masuk Bu, tidak ku kunci!” jawabku. Ku buka mukena putih berenda bunga – bunga yang membalut tubuhku. Ku usap air bening yang keluar dari sudut – sudut mataku. Ibuku membawakan sepiring nasi goreng untukku. “Makan dulu put!” kata Ibuku dengan membaca raut wajahku. “Kamu memangis? Ada apa?” tanya Ibuku. “Apa benar yang dikatakan Ayah semalam Bu?” tanyaku dengan menatap wajah Ibuku. Tak terasa air mata yang sejak tahu sudah ku tahan, kini jebol tak dapat ku kendalikan. Ku lihat Ibuku kaget. “Jadi, kamu sudah tahu Put?” tanya Ibu. “Kenapa Bu? Apa kalian tidak sayang sama Putri? Kenapa kalian tega memtuskan untuk berpisah?” tanyaku dengan tesedu – sedu. Ibu memelukku erat – erat. Aku merasakan bahwa di dalam dadanya juga ada gemuruh yang tak tertahankan. “Itu sudah keputusan Ayahmu, Put. Ibu tidak bisa berbuat apa – apa lagi. Ibu hanya perempuan, Nak. Ibu tak kuasa mencegah Ayahmu untuk tetap berada di sisi Ibu. Maafkan Ibu. Sekarang terserah Putri, Putri mau tinggal bersama Ibu atau Ayah.” jelas Ibuku dengan raut muka yang tak bisa ku gambarkan. Ibu melepaskan pelukkanya dan meninggalkan kamarku. Ku tatap nasi goreng yang di letakkan Ibu di atas meja belajarku. Aku tak berminat menyentuhnya, apalagi memakannya.

***

Malam ini putri menceritakan keluh kesahnya padaku, katanya besok ada ulangan IPS, tapi dia tak bisa belajar dengan tenang. Otaknya kacau sebab memikirkan masalah yang di hadapi kedua orang tuanya. Pikirannya buntu, bagaikan got di depan rumahnya yang tersumbat bermacam – macam sampah. Hatinya keruh, sekeruh air sungai.

Melalui tinta biru yang di goreskan di lembaran-lembaran tubuhku. Putri mencurahkan semua unek-unek yang ada di hatinya. Putri bingung kalau benar kedua orang tuanya hendak bercerai. Putri tidak dapat memilih mau ikut Ayah atau Ibunya. Putri sangat menyayangi keduanya dan tak ingin berpisah dengan mereka. Putri hanya ingin bersama Ayah dan Ibunya. Bukan bersama Ayah atau Ibunya.

“Ya Allah? Bagaimana ini? Aku harus ikut siapa?, sedangkan aku sangat menyayangi mereka. Aku tak ingin berpisah dengan keduanya”. Tulis putri pada lembaran – lembaran tubuhku. Aku ikut sedih, tapi aku tidak dapat membantu apa – apa selain hanya menampung segala keluh kesah yang di rasakan putri. Aku hanya bisa berharap setelah perasaanya di luapkan kepadaku, putri mendapat ketenangan. Tapi, sepertinya aku salah, setelah meluapkan perasaanya, putri langsung meninggalkanku begitu saja tanpa menutupku. Ia langsung naik ke tempat tidurnya dan mulai menangis lagi.

Sepanjang malam yang di lakukan putri hanya menangis dan menangis sampai dia kelelahan dan terlelap. Aku ingin sekali mengingatkan putri agar jangan menangis terus. Ingat put, besok ada ulangan IPS. Tapi, apa dayaku. Aku tak bisa bersuara.

***

“Allahuakbar,,,Allahuakbar” suara adzan dari mushola dekat rumahku membangunkan aku dari tidur nyenyakku. Mataku terasa berat, samar – samar , aku masih ingat bahwa semalaman aku menangis. Tiba – tiba aku tersentak. Hari ini ada ulangan IPS. Bagaimana ini. Aku tidak belajar sama sekali. Segera ku lipat selimutku. Aku bergegas untuk mandi dan mengambil air wudhu kemudian sholat subuh dua rakaat yang tidak dapat ku nikmati sama sekali. Setelah salam, aku buka sebentar catatan IPSku. Caraku belajar pagi ini meloncat – loncat seperti katak. Sebentar ke catatan, sebentar ke LKS, tapi tidak ada yang masuk ke dalam otakku.

Waktu cepat sekali berlalu, tanpa terasa jam dinding di kamarku sudah menunjukkan pukul 06.30. ulangan akan di adakan jam pertama pula. Ups! Ya Allah, apa dayaku? Bagaimana ini? Haruskah aku menyontek saja? Masa iya sih, putri yang selalu mendapat peringkat 1 di kelas menyontek? Aku belum pernah menyontek sebelumnya. Tapi, bagaimana ini? Menyontek jelas bukan perbuatan terpuji, curang! Tapi, bagaimana kalau tidak menyontek? Nilaiku bisa tidak tuntas dan aku takut nilaiku tidak mencapai batas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) untuk mapel IPS. Ah… entahlah, yang paling penting sarapan dulu kemudian pancal pedal sepeda. “what,,,will,,,do,,,will,,,do” senandungku menirukan sebuah lagu. Aku berpura – pura riang saja pagi ini agar mood belajarku tidak terganggu.

Aku memasuki gerbang sekolahku pukul tujuh kurang sepuluh menit. Ku hitung ada 10 anak yang masuk gerbang bersamaan waktunya denganku, kami turun dari sepeda kami masing – masing. Ku lihat Bapak Ibu guru sudah menunggu kedatangan kami di pintu gerbang. Kami pun menghampiri dan menyalami Bapak Ibu guru yang ada disitu. “Selamat pagi Bu Ami, Pak Bani?” sapaku sambil mencium punggung tangan mereka. “Pagi” jawab mereka serempak. Dalam hitungan detik aku sudah memarkirkan sepedaku di tempat parkir sepeda di bagian belakang kelasku.

Baru saja ku hempaskan pantatku di kursi belajarku, bel tanda masuk sudah terdengar. Selanjutnya ada suara merdu mengingatkan kami “Saatnya jam pertama di mulai”. Disusul dengan peringatan dalam bahasa inggris. “It’s time to become the first lesson”. Aku tak terlalu pintar dalam bahasa inggris tapi setidaknya itu yang ku dengar dan yang dapat ku ceritakan disini. Pak Son memasuki kelasku. Kehadiran Pak Son membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Seperti biasa ucapan salam Pak Son di jawab serentak oleh seluruh anak di kelasku. Setelah berdoa mengawali kegiatan belajar pagi ini, Pak Son langsung membagikan soal ulangan harian kepada kami. 

“Uh,,,” keluhku sambil membaca soal – soal yang tersaji dihadapanku. Semua temanku ku lihat asyik mengerjakan soal – soal itu. Aku masih seperti orang linglung. Aku mulai membaca situasi tengok kanan, tengok kiri, lihat depan, lihat belakang untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang memperhatikan aku. Dengan tangan gemetar dan jantung yang berdebar – debar. Aku mulai menarik catatan IPSku yang ku letakkan di laci mejaku. Bagaikan seorang pendekar, aku berhasil membabat habis soal demi soal yang menjadi musuh – musuhku hari ini. Akhirnya, semua dapat ku selesaikan dengan benar dalam tempo yang sesingkat – singkatnya. Segera ku masukkan lagi catatan IPSku ke laci mejaku. Tiba – tiba aku dikagetkan oleh sebuah suara “Sudah selesai, put?” itu suara Pak Son. Dengan gagap aku menjawab “Ssssudah, Pak”. Pak Son melanjutkan inspeksinya ke lorong meja yang lain. “Uh, hampir saja,” kataku.

Tina kaget mendengar jawabanku. “Sudah selesai put?” tegasnya tak percaya, aku mengangguk “wah, hebat kamu” ujar Tina. Sekarang jantungku malah mau meloncat, kadang ku rasakan di tempatnya, kadang kurasakan menghilang. Dalam bahasa Ibuku saat ini hatiku sedang “Runtag” aku takut kalau – kalau Tina tahu yang sebenarnya tejadi. Sungguh ini pengalaman pertamaku berbuat curang seperti ini. Ohh,,, Tuhan, apakah yang saat ini ku rasakan tercetak jelas dalam ekspresi wajahku?

***

Lagi – lagi malam ini putri menceritakan keluh kesahnya padaku. Namun, keluhannya kali ini bukan tentang “Aku harus ikut siapa?”. Dia menceritakan perbuatan konyolnya yang dilakukannya hari ini di sekolah. Oh no! Rasanya aku tak percaya. Ini benar – benar konyol. Putri bilang tadi dia nyontek di sekolah. “Tidak ada pilihan lain Di, aku takut nilaiku jeblok. Aku takut nilaiku tidak mencapai KKM, jadi terpaksa aku menyontek Di” katanya padaku melalui tinta biru yang digoreskannya di lembaran – lembaran tubuhku (Putri sering memanggil namaku “Di” meski kadang dia menyebut nama lengkapku “Diary”) “Di, aku tak tenang” lanjutnya.

 Tentu saja aku bisa merasakan apa yang sedang Putri rasakan. Hatinya pasti was – was. Aku ingin menasihatinya agar lain kali jangan nyontek lagi. “Putri, apakah dengan mendapatkan nilai di atas KKM kamu akan senang? Nyatanya tidak kan? Kamu mungkin berpikir bahwa tidak ada satu temanmu pun yang mengetahui perbuatan licikmu itu. Tapi, kamu harus ingat Put, ada dua malaikat yang di tugasi Allah untuk selalu mengawasimu”. Tentu saja Putri tidak bisa mendengar nasihatku. Aku berharap nuraninya memberinya sebuah alarm untuk mengingatkan perbuatan salahnya itu.

***

Benar. Aku tak tenang. Hatiku selalu was – was. Jangan – jangan ada yang melihatku. Harus ku bacakah surah An – Nas untuk menghilangkan was – wasku? Huf, ternyata menyontek itu tidak membuat kita senang. Ternyata berbuat curang itu membuatku gelisah. Ternyata tidak jujur itu membuatku resah. Ya Allah, ampuni aku. Nuraniku mulai memusuhi perbuatan yang tidak terpuji itu. Aku niat akan membuat pengakuan besok pagi kepada Pak Son.

Di sekolah, Pak Son mengumumkan hasil ulangan harian dua hari lalu yang sudah di koreksi. Dengan bangga, Pak Son mengumumkan bahwa aku, putri satu – satunya siswa yang mendapat nila 100 dalam ulangan harian kali ini. Beliau memberi ucapan selamat. Teman – teman sekelasku bertepuk tangan. Entah kenapa aku tidak senang sama sekali. Aku sama sekali tidak bangga. Bahkan tanpa ku sadari butiran – butiran air bening asin mulai meluncur dari sudut – sudut mataku. Semua mengira air mataku air mata bahagia. Bukan kawan, ini air mata rasa malu dan air mata rasa bersalah. Malu aku kepada Al – Alim Yang Maha Mengetahui dan Al – Bashir Yang Maha Melihat.

Saat istirahat pertama, aku menemui Pak Son di ruang guru. Dengan terbata – bata, aku menceritakan tentang sejarah nilai 100 yang kudapatkan dalam ulangan harian dua hari lalu. Pak Son menyimak ceritaku. Beliau tidak marah.

“Bapak senang kamu jujur Put, kamu nanti ikut ulangan perbaikan hari sabtu nanti ya! Persiapkan dirimu!” kata Pak Son. Aku hanya mengangguk. Aku janji kali ini aku akan belajar dengan baik.

***

Ini cerita putri padaku, katanya dia mendapat nilai 100 untuk hasil meyonteknya. Amazing kan?. Tapi, apa hebatnya nila 100 hasil nyontek? Ah…, untung pada akhirnya putri menyadari bahwa perbuatannya itu salah. Dia diberi kesempatan oleh gurunya untuk mengikuti ulangan perbaikan. Katanya dia mendapat nilai 80 dalam ulangan perbaikan itu setelah semalaman belajar habis – habisan.

“Di, ternyata kecurangan tidak akan membuat kita senang, dan akan membuat kita selalu was – was karena terus di kejar bayangan dosa. Dan satu lagi, ternyata kejujuran meski kadang menyakitkan dan memalukan jauh lebih baik daripada curang”.

Aku bahagia melihat putri terus tersenyum saat menggoreskan kalimat hikmah yang dia dapatkan dari pengalamannya hari ini.

Andai bisa kau dengar put. Aku akan mengatakan bahwa kepuasan itu terletak pada usaha. Bukan pada hasil. Berusaha dengan keras adalah kemenangan yang haqiqi. Jangan lupa selalu berdoa pada Allah Yang Maha Kuasa agar kedua orang tuamu rujuk lagi. Kalian bertiga bahagia selamanya. “Kamu dengar apa kataku, Put?”

Ku biarkan lembaran – lembaran tubuhku terbuka. Aku, buku harianmu. Selalu siap menerima dan mendengarkan curhatmu.


TAMAT


No comments:

Post a Comment

Kegiatan Rutin Khotmil Qur'an Di Lingkungan Kampus 2 UIN Salatiga

Salatiga- Selasa pagi, tanggal 25 Febuari 2025, Masjid At-Thoyyar yang terletak di kampus 2 UIN Salatiga ramai dengan antusias mahasiswa un...