Sunday, 19 December 2021

Hari Kemerdekaan Yang Tak Lagi Sama

 Oleh: Risma Ariesta_BSA’18


Memasuki awal bulan Agustus pada tahun-tahun sebelumnya, biasanya aku dan tim pasti sedang sibuk mempersiapkan pernak pernik tujuh belasan untuk menghiasi seluruh Desa Tanon. Kerja bhakti massal pun kami gerakkan. Tak ketinggalan, aku juga menghimbau para warga untuk memasang bendera merah putih serentak di tiap-tiap rumah. Saat-saat seperti ini, biasanya yang paling heboh adalah Wakidi. Dia selalu berteriak-teriak seperti mandor pada orang-orang yang memasang umbul-umbul di gapura dan sepanjang jalan masuk Desa Tanon. Katanya, mereka harus hati-hati saat memasangnya, jangan sampai miring, perhatikan arah angin, dan lain sebagainya. Kadang jika Wakidi tidak memperhatikan pekerjaan mereka, ada saja tingkah konyol yang mereka lakukan untuk mengejek Wakidi yang cerewetnya mengalahi ibu-ibu arisan.

Sedangkan Bu Nur bersama ibu-ibu PKK lainnya biasanya tengah meronce hiasan dari daur ulang sampah plastik maupun kertas yang diwarnai merah dan putih untuk dipasang di rumah-rumah warga. Wawan dan para pemuda anggota karang taruna lainnya juga seharusnya sedang sibuk merembug lomba apa yang akan mereka adakan untuk kian memeriahkan peringatan hari kemerdekaan. Sebenarnya ini yang paling ditunggu, karena biasanya partisipan yang ikut tidak hanya dari anak-anak saja, melainkan orang-orang dewasa sampai orang tua pun juga terlibat.

Biasanya, seminggu sebelum hari kemerdekaan tiba, Desa Tanon sudah siap menyambutnya dengan berbagai kemeriahan. Tapi, tahun ini kebiasaan itu berubah. Bahkan jauh-jauh hari sebelum bulan Agustus datang, Desa Tanon dan Lereng Telomoyo kembali sepi. Tak ada wisatawan yang mengantre untuk menikmati sajian wisata di desa. Kegiatan sosial masyarakat pun dibatasi. Sejak pemerintah mengumumkan bahwa nusantara dilanda wabah menular dan mematikan, kami dihimbau untuk tidak keluar rumah kecuali memang memiliki kepentingan yang mendesak. Menjaga kebersihan, cuci tangan setiap waktu, kini menjadi kebiasaa baru yang digembar-gemborkan di mana-mana. Tak hanya nusantara yang berduka, dunia dan seluruh penghuninya pun merasakan hal yang sama.

Padahal, tahun lalu kami dan para pemuda yang tergabung dalam organisasi kepemudaan di Kabupaten Magelang, Kabupaten Semarang, dan Kota salatiga sempat mencatat sejarah baru dengan mengibarkan bendera sepanjang satu kilometer di Lereng Telomoyo. Tidak ada pasang mata yang tak terharu bahkan menangis saat menyaksikan peristiwa itu. Sepanjang jalan menuju gunung Telomoyo dari arah Ngablak, Kabupaten Magelang dikibarkan secara horizontal dan diusung oleh arak-arakan pemuda baik laki-laki maupun perempuan. Kami serempak menyanyikan lagu-lagu nasional yang entah bagaimana bisa sangat menyentuh hati. Mulai dari Indonesia Raya, Satu Nusa Satu Bangsa, Tanah Airku, Indonesia Pusaka, Bagimu Negeri, dan banyak lagi.

Anak-anak tak mau ketinggalan mengkuti arak-arakan kami. Mereka berlarian dengan cerianya. Saling tertawa dan turut membawa bendera kecil dari plastik di tangan mereka. Kedua pipi mereka cemong oleh lukisan bendera merah putih. Ditambah, para anak laki-laki yang mengenakan ikat kepala dari hasduk pramuka. Para warga yang melihat arak-arakan kami turut merekam, beberapa terlihat ikut menyanyi, dan mengusap pipi mereka, karena mungkin sempat menangis haru. Para wartawan juga turut memeriahkan acara ini, sibuk meliput dengan kamera mereka. Lampu blitz di mana-mana, juga desing drone yang terbang tinggi dan rendah di atas kepala kami. Sungguh pengalaman yang akan kukenang seumur hidupku.

Acara Millenial Fest (Me-Fest) itu terselenggara berkat kerja sama organisasi kepemudaan dan tanpa melibatkan pemerintah. Seluruh pendanaan, juga partisipasi murni dari kerja sama kami semuanya. Namun baru sekali kegiatan tersebut terselenggara, tahun ini Me-Fest terpaksa ditiadakan karena keadaan yang tidak memungkinkan.

“Jadi tahun ini nggak ada agustusan, kang?” tanya Agus yang biasa mengurus transportasi para wisatawan.

“Kalau kegiatan yang menimbulkan kerumunan mungkin ditiadakan, ya. Kayak upacara, pawai, lomba-lomba, dan lain-lainnya itu. Hampir semuanya pasti rame-rame, sih. Tapi kita tetap pasang bendera di masing-masing rumah, ya,” jawabku.

Seperti biasa, aku dan tim pemandu wisata desa menari sedang mengadakan rapat bulanan guna evaluasi program dan membahas berbagai persoalan terkait desa. Namun, enam bulan belakangan ini kami hanya pernah melakukannya tiga kali saja, dua bulan sekali. Ini sudah hampir bulan ke-enam dari munculnya himbauan pemerintah agar masyarakat tinggal di rumah saja, yang dimulai sejak bulan Maret lalu. Banyak momen berharga yang kami lewatkan dengan cara-cara baru yang sebelumnya belum pernah kami bayangkan. Seperti halnya sekolah online, momen ramadhan yang sepi karena tarawih di rumah, sholat iedul fitri dan iedul adha yang berjarak, sampai menjadi peserta upacara virtual. 

“Hufft. Kenapa wabah itu harus datang, ya? Buat kacau semua aja,” gerutu Wakidi.

“Setiap sesuatu yang didatangkan semesta untuk kita, pasti ada sisi positif dan negatifnya sendiri. Mungkin sisi negatifnya adalah seluruh kegiatan kita yang hampir sebagian besar kumpul-kumpul itu ditiadakan. Tapi pasti ada sisi positifnya juga. Dengan adanya wabah ini, kita jadi bisa lebih intens berinteraksi dengan keluarga,” kataku berusaha menyemangati para peserta rapat.

Memang tidak dipungkiri banyak orang yang menjadi cemas berlebihan, takut, dan lain sebagainya. Tapi adanya wabah ini aku sungguh belajar tentang kesabaran dan keikhlasan yang selama ini mungkin kulupakan dalam hidup. Setelah Desa Tanon menjadi Desa Menari misalnya. Banyak orang yang mulai megetahui desa ini sebagai desa produktif, mandiri, dan kiblat desa yang sukses mengembangkan potensi yang dimiliki. Mungkin saat itu aku merasa di atas awan karena merasa telah berhasil membuat impianku menjadi nyata, bahkan lebih tinggi lagi. Namun, Tuhan dengan sekejap mengambil gemerlap itu dengan cara mendatangkan wabah ini untuk seluruh dunia.

Awalnya mungkin aku merasa Tuhan tidak adil. Kenapa saat usahaku bersama para warga sedang berada di puncak, dengan kemunculan wabah kecil yang bahkan tak terlihat oleh kasat mata saja bisa menghancur leburkan semuanya. Para pegiat bisnis transportasi kehilangan penumpangnya, perjalanan ke luar negeri atau dalam negeri ditunda, tempat-tempat wisata diminta berhenti sementara, tak terkecuali Desa Menari. Aku merasa terjun bebas ke dasar jurang yang curam dan dalam. Susah payah aku membangun desa ini agar bisa berdaya, tapi semudah itu Tuhan menghancurkannya hanya dengan mendatangkan wabah kecil. Mungkin aku terlalu menyombongkan diri atas pencapaian yang telah kudapatkan selama ini. Padahal, mudah saja bagi Tuhan untuk mengambilnya kembali.

Jika tujuh puluh lima tahun yang lalu bangsa kita bisa merdeka dari penjajahan oleh bangsa lain, maka hari ini kita juga harus bisa merdeka dari jajahan pikiran-pikiran buruk yang berasal dari diri kita. Seperti halnya keputus asaan yang muncul akibat wabah yang belum juga berakhir ini. Percayalah, selama kita berusaha untuk menemukan cara agar tebebas dari wabah ini, terus berdoa kepada Tuhan, maka jika Dia berkehendak untuk mengusaikan wabah ini, pasti akan usai juga. Meski kini kita harus percaya pada ketidak pastian, yakinlah bahwa suatu saat ketidakpastian itu akan menjadi pasti juga jika waktunya tiba.

Merdeka sejak hati, penting kiranya untuk senantiasa ditumbuhkan dalam berbagai suasana. Terutama untuk menghadapi masa-masa sulit dan kondisi yang tak pernah kita bayangkan kala pandemi seperti sekarang ini. Meski perayaan kemerdekaan tak sama seperti tahun-tahun biasanya, tapi aku selalu berusaha menyalakan semangat kemerdekaan yang sama untuk diri sendiri dan juga sesama. Dengan begitu, setidaknya perayaan kemerdekaan tetap menjadi sesuatu yang sakral untuk dirayakan.



No comments:

Post a Comment

Kegiatan Rutin Khotmil Qur'an Di Lingkungan Kampus 2 UIN Salatiga

Salatiga- Selasa pagi, tanggal 25 Febuari 2025, Masjid At-Thoyyar yang terletak di kampus 2 UIN Salatiga ramai dengan antusias mahasiswa un...