Friday, 17 May 2019

Refleksi : The Feminine God, Percepatan Untuk Kembali Fitrah di Bulan Ramadhan



Oleh : Risma Ariesta

Mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab, Semester 2
                                                                    IAIN Salatiga                      

Syekh Muhyiddin bin ‘Arabi pernah mengatakan kepada muridnya, “Jika kalian ingin memotong jalan menuju Tuhan, terlebih dahulu kalian harus menjadi perempuan.”

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A, beliau mengutip perkataan salah satu ulama seperti yang tertulis di atas. Hal tersebut memiliki landasan, dimana unsur kelelakian merepresentasikan sifat The Masculine God, atau Al-Jalal (keagungan, kehebatan, kesombongan). Namun dalam bulan suci Ramadhan yang disebut juga sebagai bulan cinta (Syahr Alhubb), Tuhan lebih banyak memperkenalkan diri-Nya sebagai The Femine God yang merepresentasikan sisi Al-Jamal (kecantikan, kebagusan, keelokan).

Jika ditelaah secara lebih mendalam, The Feminine God bisa direpresentasikan sebagai pancaran dari sifat-sifat Tuhan yang Maha Pemurah, Penyayang, Pengasih, Mulia, Lemah Lembut, dan lain sebagainya. Adapun sifat lemah lembut yang identik dengan perempuan di sini, menggambarkan betapa pemurahnya Tuhan pada para hamba-Nya, khususnya pada momentum bulan Ramadhan seperti ini. Bahkan bisa dikatakan, Tuhan sedang obral pahala sebanyak-panyaknya di bulan mulia ini. Setiap kebaikan, setiap sedekah dilipatgandakan sebanyak 700 kali bahkan sampai tak hingga, sesuai dengan kehendak-Nya.

Bulan suci Ramadhan adalah saat paling tepat untuk setiap hamba kembali mereguk nikmatnya iman dalam hati. Meskipun begitu, bukan berarti pada bulan-bulan selain Ramadhan seorang hamba tidak diperkenankan untuk kembali dan bertaubat kepada Allah. Melainkan, kesempatan penerimaan taubat amat besar Tuhan curahkan pada bulan suci Ramadhan ini. Masa paling tepat untuk berlomba-loba dalam kebaikan, sebanyak mungkin, sesering mungkin, meski harus sampai pada titik darah penghabisan.

Tapi kenapa kita dianjurkan untuk totalitas di bulan suci ini? Jawabannya, karena pada bulan Ramadhan inilah Allah memberikan seluruh cinta-Nya kepada para hamba, melipatgandakan pahala dari amalan-amalan yang dilakukan oleh para hamba sesuai kehendak-Nya, bahkan tanpa kita ketahui.

Oleh karena itu, kesempatan sebesar ini harus kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk beribadah dan taqarrub kepada Allah SWT. Jika setiap hembusan nafas saja dihitung ibadah, lantas bagaimana dengan perbuatan ibadah itu sendiri? Bagaimana dengan niat kita tulus bersedekah serta membantu orang lain? Bukankah akan lebih banyak nilai serta pahalanya di sisi Allah?

Mungkin saat ini, kita bisa dibilang sebagai hamba yang tak tahu diri. Dimana, banyak sekali dosa yang telah kita perbuat dalam 11 bulan lamanya, sedangkan hanya ada satu bulan paling mulia yang Allah sediakan agar semua itu lebur oleh pertaubatan serta kesungguhan kita dalam merengkuh cinta-Nya. Ramadhan yang hanya satu bulan dengan 29 sampai 30 hari di dalamnya, berusaha mengajarkan kepada kita tentang efektifitas waktu yang harus senantiasa kita gunakan dan manfaatkan sebaik mungkin.

Jadi, akan lebih mudah bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui metode The Feminine God. Dimana, seorang hamba harus senantiasa lebih banyak mengucap syukur atas setiap rahmat dan nikmat Tuhan atasnya. Ber-taqarrub atas dasar cinta kepada Tuhan, untuk mencapai percepatan kembali fitrah dalam tataran sebagai seorang hamba.


Wednesday, 15 May 2019

مَنْ أَنَا؟


مَنْ أَنَا؟
.?Siapa Aku
Karya: Wahyuning Gatri



أَنَا أَعْمِيٌ الَّتى فَقَدَتِ الْجِهَّة
Aku adalah orang buta yang kehilangan arah
لَقَدْ غَابَ  اْلَإتِّجَاهُ لِأَنَّ أَظْلَمَ  الْعَالَمُ فَجْأَةً
Aku kehilangan arah karena dunia tiba-tiba menjadi gelap
بَكَيْتُ خَائِفًا بَاحِثًا لِوَسِيْلَةِ الضَّوْءِ
Aku menangis ketakutan mencari jalan terang
وَلَكِنَّ عِنْدَمَا أَدْرَكْتُ
Namun ketika kusadari
أَظْلَمَ هَذَا اْلعَالَمِ لِأَنَّنِي أَغْمَضُ عَيْنِى
Dunia ini menjadi gelap karena aku menutup mata
أَنَا أَحْمَقٌ لِأُدْرِكَ أَنَّ رُؤْيَتِى مَحْدُوْدَةٌ بِالْعَيْنِ
Aku terlalu bodoh untuk menyadari bahwa penglihatanku terbatasi oleh mata
فَكَيْفَ يُمْكِنُنِي أَنْ أُعَيِّنَ الْإِتِّجَاه؟
Lalu bagaimana aku bisa menentukan arah?
أُرِيْدُ أَنْ أَنْفُذَ هَذَا الْحَدَّ
Aku ingin menembus batas itu

أَنَا مُشْتَاقٌ بِرُؤْيَةِ الْعَالَمِ الْوَاسِعِ
Aku rindu melihat luasnya dunia
أَيْنَمَا يُمْكِنُنِى الْمَشْيُ وَ أَأْخُذُ جَمِيْعَ الْإِتِّجَاهَات لِأَسْتَطْلِعُ
Dimana aku bisa berjalan dan mengambil segala arah untuk ku jelajahi
أَسْتَمْتِعُ  التَّقَلُّبَات وَ الْمُنْعَطِفَات مِنَ الطُّرُقِ الَّتِى تَمُرُّ بِهَا النَّاسُ
Menikmati lika-liku jalan yang semua orang lalui
وَلَكِنَّنِي أَحْمَقٌ لِأَدْرِكَ مَنْ أَنَا
Tetapi aku terlalu bodoh untuk menyadari siapa aku
أَنَا  مُعْرِجٌ
Aku orang yang pincang
كُنْتُ مَحْدُوْدًا بِمَا اسْتَطَعَتْ رِجْلِى الْمَشْىَ فِى اْلعَالَمِ
Aku terbatasi oleh kakiku yang tidak bisa menapaki dunia
وَأُرِيْدُ أَنْ أَنْفُذَ هَذَا الْحَدَّ أَيْضًا
Aku ingin sekali menembus batas itu


أُرِيْدُ أَنْ أَقْرَأَ مَنَاطِقَ مُحِيْطَةِ الْعَالَمِ
Aku ingin membaca keadaan alam sekitar
أَشْعُرُ كُلَّ حَرَكَةٍ طَبِيْعِيَّةٍ بِهَا
Merasakan setiap pergerakan alam
أُفَكِّرُ كَمَا فَكَرُوا النَّاسُ عَامَّةً
Berfikir seperti orang-orang pada umumnya
وَلَكِنَّ مَا أَمْكَنَ عَلَى بَدَنِى أَنْ تُلْجَمَ
Namun tubuhku tidak bisa dikendalikan
وَأَنَا أَحْمَقٌ بِأَنَّنِي لَمْ أَدْرِك أَنَّ قَدْ مَاتَتْ عَقْلِى وَتَوَقَّفَتْ عَنِ الْعَمَلِ
Dan aku terlalu bodoh untuk menyadari bahwa otakku juga telah mati dan berhenti berfungsi
فَمَنْ سَيَكُوْنُ مُسَاعِد لِى؟
Lalu siapa yang akan menjadi penolongku?

فَكَيْفَ يُمْكِنُنِى  أَنْ أَنْفُذَ كُلَّ الْحُدُوْدِ؟
Bagaimana caranya aku bisa menembus semua keterbatasan itu?
حَتَّى أَدْرِك مَنْ أَنَا أَخِيْرًا أَننى أَشَدُّ الْأَحْمَقِ
Hingga akhirnya aku benar-benar menyadari siapa aku, aku adalah orang yang dungu
لَمْ أَكُنْ أَنْ أَدْرِكَ أَنَّنِى لَدَيَّ قَلْبٌ
Aku tidak menyadari bahwa aku mempunyai hati
مِنْ خِلَالِ الْقَلْبِ كُلُّ الْحُدُوْدِ تُمْكِنُ أَنْ تُفْجِرَ
Melalui hati semua keterbatasan bisa ditembus
تُمْكِنُ الْعُيُوْنُ مَفْتُوْحًا
Mata bisa terbuka
تُمْكِنُ  الرِّجْلُ الْمَشْيَ
Kaki bisa berjalan
تُمْكِنُ الدِّمَاغُ وَظِيْفَةً
Otak bisa berfungsi
بُدِأَ كُلُّ شَيْئٍ بِقَلْبٍ حَدِيْثٍ
Semuanya diawali dari dengan hati yang berbicara
كُلُّهَا تَتَعَلَّقُ بِقَلْبٍ الَّتِى تُحَرِّكُهَا
Semuanya tergantung dari hati yang menggerakkannya

Sunday, 12 May 2019

Resensi – Pribadi Mulia dalam Balutan Sederhana nan Bersahaja


Judul Buku : Pribadi Muhammad (Syakhshiyyah al-Rasul)
Penulis : Dr. Nizar Abazhah
Penerjemah : Asy’ari Khatib
Penerbit : Penerbit Zaman, Jakarta
Tahun terbit : Cetakan I, 2013
Jumlah halaman : 386 halaman
ISBN : 978-602-17919-2-9

Ketika saya mencoba berselancar di internet untuk mencari referensi tulisan yang mungkin juga pernah membuat resensi tentang buku Pribadi Muhammad ini, rupanya saya belum menemukan apa yang saya cari. Hanya ada sedikit ulasan dari website penerbitnya yakni Penerbit Zaman, serta ulasan singkat dari Goodreads. Walhasil, resensi ini mudah-mudahan menjadi resensi pertama yang dibuat terkait dengan buku ini. Hehe.

“Sungguh telah ada pada diri Rasulillah itu teladan bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab : 21)
Kutipan dari salah satu ayat Al-Qur’an tersebut menjadi pembuka paling awal dari buku ini. Sesuai judulnya, dalam buku ini dikupas secara mendalam tentang bagaimana kepribadian Rasulullah Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-harinya. Ada tiga tema besar yang dituliskan oleh Dr. Nizar Abazhah dalam buku ini. Yakni tentang Sosok Nabi, Keseharian Nabi, serta Mukjizat Nabi. Ketiga tema besar ini tentu saja memiliki sub-sub tema yang mengandung penjelasan runtut dan mendalam dengan bahasa yang mudah dipahami.

Allah memilih Rasulullah saw. sebagai penutup para nabi dan Dia himpunkan kepadanya sifat-sifat mereka yang mulia: jujur, amanah cerdas hati dan pikiran, senantiasa dalam keadaan sadar, tidak menutup-nutupi, dan terjaga dari kemaksiatan. Rasulullah saw. terhindar dari segala dosa, besar maupun kecil. Melaksanakan semua perintah Allah tanpa sedikit pun melanggarnya. Menjaga diri dari semua larangan-Nya tanpa sekali pun terjerumus ke dalamya. (h.29)

Meskipun telah kita ketahui bersama bahwa Rasulullah adalah sosok yang ummy alias tidak bisa membaca dan menulis, namun Allah telah memilih beliau sebagai utusan-Nya yang terakhir untuk seluruh alam sampai akhir zaman. Jadi, tidak mengherankan bahwa dari diri beliau selalu muncul hal-hal yang membuat kita terkagum-kagum.

Jika marah, beliau berpaling. Jika senang, beliau memejamkan mata. (h.46)

Lantas, jika orang lain merendahkan Rasulullah, beliau balas dengan kebaikan. Semakin direndahkan dan dilecehkan, semakin dibalas dengan kebaikan. Menurut Aisyah istrinya, akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Terlalu banyak penggambaran dalam bentuk kata-kata yang dipaparkan oleh penulis yang seketika membuat pembaca terkagum-kagum dengan sosok karimatik sepanjang zaman ini. Namun demikian, hal itu pun tidak cukup kiranya mengingat begitu mulianya sosok Nabi Muhammad saw. sebagai utusan dan kekasih Allah itu.

Berkaitan dengan sifat tawaduk, Nabi saw. menjadi gambaran utama yang merepresentasikan sifat mulia ini. Beliau benar-benar tampil sebagai ideal akhlak seorang muslim yang berbeda sama sekali dari moral Jahiliyah. Diberi pilihan pangkat antara menjadi nabi yang raja, seperti Nabi Sulaiman, dan menjadi nabi yang sahaya, Rasulullah memilih pangkat kesahayaan. Beliau memilih sedikit dengan dunia agar kelak menghadap Allah dengan tenang dan leluasa. (H.R. Muslim, 188), (h.182)

Dalam berbagai literatur pun berkali-kali dijelaskan bahwa Rasulullah saw. merupakan sosok yang sederhana. Meskipun para sahabat sering menyanjungnya dengan sanjungan-sanjungan yang terhormat lagi mulia, namun beliau justru lebih senang dipanggil sebagai manusia biasa yang lahir dari seorang perempuan yang memakan dendeng. Subhanallah! Betapa sifat tawaduk tanpa rekayasa maupun pencitraan yang tercermin dalam kata-kata serta sikap beliau ini.

Menjelaskan tentang dirinya, Nabi saw. bersabda, “Aku hanyalah seorang hamba. Aku makan sebagaimana budak lain makan, duduk sebagaimana budak lain duduk.” (Thaqabat Ibn Sa’d, 1/371, Al-Syifa, 1/168), (h.183)

Mungkin, buku ini memanglah tidak selengkap Sirah Nabawiyyah. Karena Dr. Nizar Abazhah pun membuat seri tersendiri bagi karyanya ini. Dalam beberapa paragraph di buku ini pun bertebaran footnote yang menggiring pembaca untuk juga membaca karyanya yang lain seperti Perang Muhammad, Ketika Nabi di Kota, Bilik-Bilik Cinta Muhammad, dan lain-lain.

Pada bagian tentang keseharian nabi pun diungkapkan berbagai macam kebiasaan beliau yang juga hampir sama dengan kebiasaan rang biasa pada umumnya. Seperti halnya penggambaran tentang kesederhanaan rumah beliau, bagaimana posisi maupun cara tidur beliau, alas tidur beliau yang hanya dari selembar tikar tipis yang membuat cap di bagian punggung beliau, dan banyak kesederhanaan lainnya yang mungkin jauh dari para sahabat, apalagi kita umatnya. Meneladani Rasulullah secara keseluruhan rasanya memang tidak mungkin kita lakukan. Karena nafsu yang kita miliki terkadang senantiasa lebih besar daripada ketaatan yang kita miliki.

Nabi membagi harinya untuk ibadah, keluarga, dan manusia. Ini dilakukannya dengan konsistensi yang menakjubkan. Begitu menghadap kepada Allah, beliau menghadap secara total. Jika melakukan sesuatu, beliau tak berhenti sampai tuntas. Tak heran bila tak ada kamus gagal dalam setiap tindakan beliau. (Bathal al-Abthal, 52), (h.278)

Sedangkan pada bagian mukjizat, Dr. Nizar Abazhah membaginya menjadi mukjizat umum yang nabi peroleh ketika periode Makkah serta jenis-jenisnya, dan mukjizat terbesar nan kekal, yakni Al-Qur’an. Mukjizat saat periode Makkah yang pertama adalah Isra’ Mi’raj yang merupakan penghormatan Allah untuk Rasul-Nya. Sedangkan mukjizat yang kedua ialah ketika Rasulullah berhasil lolos dari kepungan kaum kafir Qurays dalam peristiwa hijrah. Nah, untuk mukjizat yang terbesar nan kekal berupa Al-Qur’an itu sendiri, seperti yang kita ketahui bersama sampai saat ini. Bahkan, jarak masa hidup nabi dengan kita saja mungkin lebih dari 1400 tahun. Namun, apa yang tertulis dalam mukjizat itu tidak pernah sedikitpun bertambah, berkurang, maupun hilang. Bahkan mukjizat tersebut banyak sekali yang menyimpannya dalam bentuk mushaf berjalan yang senantiasa menghiasi dada para penghafalnya, untuk memberkahi kehidupannya dan alam semesta.


Buku Pribadi Muhammad ini memang sudah tak dapat diragukan lagi kualitasnya. Dari sisi bahasa terjemahannya saja, mudah dimengerti oleh pembaca yang awam sekali pun. Bahkan, ulasan ini kiranya tidak cukup untuk menggambarkan semuanya. Maka dari itu, saya pribadi sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca karena bahasanya yang ringan, dan halamannya yang tidak terlalu tebal sebagaimana Sirah Nabawiyyah. Namun, alangkah baiknya setelah selesai menamatkan buku biografi Rasulullah  saw. ini juga turut menyambungnya dengan seri lain tentang tulisan-tulisan yang membahas biografi Rasulullah. Karena, barangsiapa yang mengenal nabinya, InsyaAllah ia akan dekat dengan Tuhannya.

Oleh : Risma Ariesta

Wednesday, 8 May 2019

THE PARADOX PARANOIA (Phase 1 chapter 1)


THE STORY OF HADA (PART 1)



“Anakku! Dimana anakku?!
“Anakku! Tak kunjung juga kau kunjungi ibumu yang telah renta ini.
“Anakku! Kau selalu menceracau mengenai tuhanmu sang cahaya itu. Aku tidak keberatan dengan apa yang kau percayai. Aku hanya ingin kau berada disini dan menemaniku sampai aku tiada. Karena kau lah satu-satunya yang membuatku tetap perkasa, kau lah satu-satunya alasanku kuat menghadapi kerasnya dunia”. Tangan tua nya bergemetar mengangkat kertas bertuliskan puisi yang sedang ia pegang.
“Anakku! Kumohon! Kumohon kembalilah kepadaku! Aku selalu menunggumu kembali. Bagaimanapun keadaanmu.
“Kau pernah bercerita kepadaku mengenai Elyas yang kau sebut sebagai hamba tuhanmu yang paling dia cinta. Kau bilang bahwa dia adalah orang biasa yang bahkan lahir dari rahim bukan siapa-siapa. Hanya anak seorang pemerah susu di desa.
“Kau berkata bahwa Elyas bertemu langsung dengan tuhanmu, namun tuhanmu tidak mengatakan bagaimana seharusnya manusia memanggilnya. Hanya mengajarkan bagaimana harus bersikap ketika hidup di dunia.
“Aku masih sangat ingat kau berkata bahwa memeluk ajaran sang cahaya adalah pilihan, bukan sebuah paksaan. Karena itu kau tak pernah mengajakku untuk memeluk ajaran yang hampir setiap saat kau ceritakan.
“Aku banyak berspekulasi. Memikirkan seluruh kata yang pernah kuucapkan, mungkinkah ada yang membuatmu tak enak hati? Aku takut. Aku takut karena itu kau pergi dan tak mau kembali.
“Nak, maafkan aku”. Air mata membasahi pipi keriputnya yang mulai ranta dimakan usia. “Pukul aku, caci maki aku, lakukan apa pun yang kau mau. Kau perintahkan aku untuk memotong lidah pun aku mampu. Aku hanya ingin kau kembali. Aku hanya ingin kita bersama lagi”. Suara wanita tua itu terputus. Apa yang dibacakannya adalah sebuah kejujuran, sebuah kata hati, sebuah jeritan yang tidak tahu harus dicurahkan kepada siapa.
Setelah lama, dia mulai bisa mengendalikan dirinya. Semua orang yang melihatnya diatas panggung menangis, ikut merasakan kehilangan yang sama. Dia pun membungkukkan badan dan memasukkan puisi yang ia tulis dengan tangannya itu kedalam saku.
Perempuan yang berada pada masa senjanya itu kini menatap orang-orang. “Terimakasih. Aku tidak pernah memiliki tempat untuk menuangkan segala keluh kesahku mengenai masalah ini. Sering sekali aku ingin menyayat pergelangan tanganku dengan pisau. Namun, aku takut. Aku takut Hada kembali dan aku tidak ada disana. Aku takut dia akan semakin membenciku”.
Dia kembali menundukkan dirinya, mencoba menggambarkan lebih jauh rasa terimakasihnya. Kali ini dia mengarahkan pandangannya pada seorang pria berkaus biru muda lengan panjang yang duduk pula dikursi didepannya. “Kepada Tuan Kasya, aku tidak tau lagi apa yang harus aku ucapkan. Berkat kau yang mengenalkan aku pada perkumpulan ini, aku merasa jauh lebih baik karena bisa mengenal lebih banyak orang baru yang perduli padaku. Terimakasih”. Dia pun menuruni panggung tersebut dengan perlahan.
Pria yang dipanggilnya dengan Tuan Kasya membantunya menuruni tangga panggung tersebut, lalu mengantarkannya sampai tempat duduk. Setelah memastikan perempuan itu duduk, dia pun naik keatas panggung. “EmHada, justru kami yang berterimakasih kepada anda karena sudah bersedia menjadi anggota perkumpulan kami. Kami selalu senang memiliki keluarga baru. Kami akan membantu apa pun kebutuhanmu. Kami akan membantu mencari informasi mengenai keberadaan Hada yang sudah hilang sejak sepuluh tahun lalu”.
Semua orang di ruangan itu bertepuk tangan, terharu, dan siap membantu, siapa pun yang menurut mereka telah dicurangi oleh waktu.
***
Wanita itu bernama  Esmeralda. Dia adalah seorang wanita karir pada awalnya. Berkerja hampir tak kenal waktu, bahkan cenderung tak perduli dengan kesehatan tubuh dan kejiwaannya. Tentu saja yang ada dipikirannya adalah bagaimana cara agar dia bisa mendapatkan banyak uang untuk persediaan hidupnya bersama keluarga kecilnya nanti, dia tidak pernah memikirkan hal lain diluar itu. Karena dia tau bagaimana rasanya menjadi begitu kesusahan dimasa kecilnya, dia tak mau anaknya menghadapi masalah yang sama.
Terus bekerja membuatnya tak sadar bahwa sudah hampir tiga puluh tahun dia hidup. Sudah sepuluh tahun dia berkerja tanpa henti untuk mendapatkan semuanya. Sudah waktunya dia mewujudkan keluarga kecil bahagia yang selama ini dia damba-dambakan. Dan dengan sangat kebetulan, ada seorang pria sangat mapan datang kepadanya mengutarakan maksud baik. Pria itu, yang enam tahun lebih muda darinya, melamarnya untuk menjadi pendamping hidup.
Pria ini bernama Areeha. Bisa dikatakan dia adalah orang yang berkedudukan sangat tinggi di perusahaan tempat Esmeralda bekerja. Dia berperawakan biasa, layaknya penduduk Lieve pada umumnya. Berperawakan tidak terlalu tinggi, berbadan sedikit bungkuk, berwajah tirus, berkulit putih kemerah-merahan, dan telinga yang jika dibandingkan dengan telinga penduduk negara lain dapat dikatakan besar.
Namun ada banyak hal lain yang membuat Esmeralda sangat menyukai Areeha. Kebanyakan pria Lieve akan memandang rendah perempuan karena menurut mereka perempuan hanya ras lemah, remah-remah peradaban. Hanya sebagai kesenangan dan wadah keturunan bagi para laki-laki. Tidak lebih. Mereka juga berfikir bahwa perempuan hanya menjadi penghambat laju pertumbuhan ekonomi karena lebih mementingkan perasaan. Itu juga yang membuat mata laki-laki di tempat kerjanya menatap Esmeralda dengan penuh hina. Sepuluh tahun dia berkerja untuk membuktikan bahwa perempuan pun bisa. Namun nyatanya dimanapun sama, hal itu tidak merubah apa-apa.
Areeha, dia orang yang sangat berbeda. Dia tidak pernah menatap Esmeralda dengan tatapan itu, dia melihat Esmeralda sebagai manusia, sebagai manusia yang harus diapresiasi. Sering sekali Areeha menyelamatkan Esmeralda dari keadaan canggung yang terjadi ketika para laki-laki ditempat kerjanya mulai menatapnya dengan tatapan merendahkan, itu saja sudah membuat Esmeralda tergila-gila. Namun, Esmeralda mampu menggunakan logikanya. Dia sadar bahwa jika dibandingkan dengan Areeha, dia bukanlah siapa-siapa. Tidak mungkin Areeha akan meliriknya.
Dan ternyata itu terjadi. Suatu sore, ketika Esmeralda hendak pulang ke kediaman sederhananya, Areeha menghampirinya dan meminta izin untuk mengantarkannya pulang. Esmeralda bingung dan senang diwaktu yang sama. Tanpa pikir panjang, dia mengiyakan permintaan izin tersebut. Mana mungkin kesempatan datang dua kali. Dan mereka pun menaiki mobil pribadi milik Areeha, dengan supir pribadinya tentu saja.
Mereka berdua duduk dikursi penumpang.
Menit-menit awal dihiasi dengan hening. Suasana canggung begitu kentara. Samar-samar Esmeralda dapat merasakan bahwa Areeha sedang bergemetar. Lalu dengan terbata-bata, Areeha mulai bertanya mengenai pekerjaan, dan malangnya, bagi Areeha tentu saja, ketika Esmeralda telah menjawab pertanyaan tersebut, otaknya sudah tidak bisa memproses kata atau pun memikirkan tema obrolan apapun.
“Esmeralda, mau kah kau menjadi istriku?”. Tanyanya masih dengan terbata-bata, juga tangan gemetarnya yang serta-merta mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari saku celana. Sebuah cincin pernikahan terbuat dari emas bercampur berlian terlihat disana ketika kotak itu dibuka.
Esmeralda tidak dapat berkata, lidahnya seketika kelu. Yang bisa ia lakukan hanya menutup mulut, mencoba menahan entah suara macam apa yang akan keluar dari sana jika dia tidak menutupnya. Air mata mengalir begitu saja dari kedua matanya yang sayu karena lelah. Badan nya bergemetar menahan sebuah kebahagiaan yang teramat sangat.
Cukup lama sampai akhirnya Esmeralda menganggukkan kepalanya. Dia setuju. Tidak, dia bukan hanya setuju. Dia bahkan sangat bahagia. Dan akhirnya, mereka pun menikah, tepat tiga hari setelah kejadian tersebut.
Tiga tahun lamanya sudah mereka menjalani kehidupan pernikahan. Areeha meminta istrinya untuk berhenti berkerja, dia tidak mau pujaan hatinya itu kelelahan. Bahkan untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah, Areeha memperkerjakan seorang wanita lain. Dia sangat sayang pada Esmeralda. Satu hal yang paling diinginkan oleh Areeha kala itu adalah keturunan. Dia sangat ingin memiliki anak yang  dapat melengkapi keluarga bahagianya itu.
Namun dia tidak sekalipun mendesak Esmeralda. Dia tetap sabar dan berusaha untuk membuat Esmeralda hamil. Mulai dari penambahan intensitas bercinta mereka, sampai memakan makanan yang dipercaya dapat “mempersubur” reproduksi, semuanya. Bahkan sudah beberapa kali mereka mengkonsultasikan hal itu pada dokter kandungan yang menjadi kepercayaan keluarganya.
Dari beberapa kali konsultasi dan pemeriksaan, ada indikasi bahwa Esmeralda adalah seorang wanita yang sulit memiliki anak. Kabar ini dengan cepat sampai ke telinga keluarga besar Areeha. Tentu saja mereka ingin Areeha memiliki keturunan, dan memaksanya untuk mencari wanita lain.
Esmeralda dirundung kesedihan. Dia mengurung diri dikamar dan tidak membiarkan Areeha masuk. Akhirnya Areeha juga merasa sedih, dia tidak pergi ke tempat kerja, hanya menunggu didepan pintu kamar. Dia tidak mau istrinya menanggung semua kesedihan itu sendiri. Dia tidak lagi perduli dengan keturunan. Persetan! Dia hanya takut terjadi sesuatu pada istri tercintanya.
Setelah tiga hari tanpa akses dunia luar, Esmeralda akhirnya membuka pintu, dengan wajah yang sangat pucat dan mata yang sangat sembap. Bagaimana tidak, tiga hari itu tanpa makanan sama sekali, mungkin saja hanya menangis yang dia lakukan didalam sana. Saat pintu terbuka, tubuhnya terjatuh. Areeha dengan sigap menangkap istrinya, langsung menggendong Esmeralda menuju mobil dan membawanya kerumah sakit.
Dengan sangat sabar Areeha menjaganya sepanjang hari, bahkan sepanjang malam. Dia mulai terlihat seperti orang sakit. Namun dia tetap tidak perduli. Dia hanya ingin melihat pujaan hatinya siuman. Setalah dua hari, Esmeralda membuka matanya.
Yang pertama kali Esmeralda katakan ketika melihat Areeha adalah “Cintaku, jika kau masih cinta kepadaku, tinggalkan aku. Carilah perempuan yang mampu memberikan keturunan bagimu. Aku tidak mau kau mengecewakan kedua orang tuamu, cukup lah mereka kecewa padaku. Dengan senang hati aku akan pergi dan tidak mengganggumu lagi”.   
“Esmeralda, cintaku. Tolong dengarkan”. Kedua tangannya menggenggam kedua tangan Esmeralda. “Kau akan selalu menjadi satu-satunya. Aku tidak mau. Aku tidak akan menerima siapapun lagi. Persetan dengan apa yang dikatakan oleh ayah dan ibuku. Toh mereka hanya membesarkanku sebagai penghasil uang. Bukan sebagai anak. Untuk apa aku harus perduli. Yang aku mau bukan keturunan. Yang aku mau hanya menua bersamamu. Tolong mengertilah, aku benar-benar tidak mau hidup tanpa dirimu”.
Air mata kembali membasahi pipi Esmeralda. Lelaki yang sekarang menjadi suaminya ini benar-benar sebuah anugerah. Dia sangat yakin jika Areeha bukanlah sebuah kebetulan. Dia yakin ada seseorang yang mengaturnya. Namun siapa? Ini semua terlalu indah jika orang biasa yang mengaturnya, yang artinya orang itu begitu berkuasa. Ah, dia tidak perduli. Ia hanya ingin menua bersama suaminya sekarang.  
Dia menutup kedua matanya dan menggenggam balik kedua tangan Areeha dengan kuat. Areeha mengecup dalam tangan istrinya, lalu mengecup keningnya penuh cinta. Tanpa terasa, lelaki yang sangat mencintai istrinya itu ikut menitikkan air mata. Dan air mata tersebut jatuh dikening sang wanita.
“Esmeralda, belahan jiwaku, satu-satunya cintaku, tolong dengarkan sumpahku pada sang waktu. Aku, Areeha putra Lieve, akan selalu berada disisi mu sepanjang nafas mengikat nyawa, sepanjang cinta menyimpul jiwa, sepanjang senang sulit yang datang melanda, dan sepanjang kala berkasih pada kita dengan kata usia”.
***
Beberapa hari sudah Esmeralda melalui masa-masa kritisnya. Dengan sangat sabarnya Areeha terus menjaga dan merawatnya. Banyak sekali yang telah terjadi, namun Areeha tidak mau menambahkan beban pikiran istrinya. Ia hanya mau mereka bisa secepatnya pulang menuju rumah kecil mereka, melanjutkan kebahagiaan mereka yang tertunda. Dan, sekarang lah waktunya.
“Suamiku, belahan jiwaku, ah, rasanya aku sampai tidak tahu bagaimana harus mengucapkannya. Aku, aku sangat berterimakasih kepadamu. Rasanya apa yang kau lakukan untukku selama ini sangat besar, aku tidak tahu harus bagaimana membalas semua”. Kata Esmeralda ketika mereka sedang dalam perjalanan kembali menuju kediaman mereka.
Mata Areeha masih fokus pada jalan raya yang lumayan lengang malam itu. Tangan kiri nya menggenggam tanga kanan Esmeralda yang duduk di kursi penumpang sebelahnya. Dengan sangat lembut dia meremas tangan istri tercintanya itu. “Dengarkan ini rembulan bagi duniaku yang amat gelap, aku tak perduli pada apapun yang terjadi padaku. Aku hanya ingin kau selalu berada disisiku. Walaupun orang mengancam akan menghapus namaku dari daftar pewaris perusahaan, walaupun orang mengancam akan mengambil semua harta bendaku, walaupun dunia mengancam dengan berbagai cara pun, aku akan tetap memilihmu. Aku sudah sangat muak dengan dunia. Bahkan aku berencana mengajakmu pergi jauh dari kota, bahkan dari Lieve bila perlu. Ada sesuatu yang sangat salah disini, yang anehnya tidak bisa disadari oleh orang-orang.
“Rasanya hari-hariku mengumpulkan uang sangat hampa. Orang tuaku terus mendesakku untuk terus melanjutkan pekerjaanku, karena menurut mereka, aku adalah aset yang sangat berharga, aku sangat cakap dalam mengatur segalanya. Mau tidak mau aku harus menjalankan apa yang mereka perintahkan, dan aku menjalankan semua layaknya robot. Mengulangi pekerjaan yang sama berulang-ulang. Namun semua berubah ketika kau mulai berkerja di perusahaan. Entah mengapa, ada sesuatu yang menarik perhatianku darimu.
“Pada titik itu aku merasa bahwa aku mulai terobsesi padamu. Aku sangat sadar bahwa obsesi yang berlebihan pada seseorang itu tidak baik. Dan akhirnya aku mencoba untuk mengalihkan pandanganku darimu. Tidak. Aku tidak bisa. Semakin kualihkan perhatianku darimu, semakin aku sadar bahwa rasa yang kurasakan bukanlah obsesi. Ini cinta. Ya, hampir selama tujuh tahun kupendam rasa ini.
“Dan di hari kau katakan kau menerimaku sebagai suamimu, rasa sangat bahagia membanjiri dadaku. Aku merasa bahwa aku tidak membutuhkan apapun lagi. Uang, sudah banyak yang kumiliki, anak, aku tidak perduli, relasi, ah, rasanya mereka pun hanya perduli pada uang yang kumiliki. Aku hanya perduli padamu, kebahagiaanmu, kesenanganmu, kesehatanmu, semua itu prioritasku sekarang”. Dia mengangkat tangan kanan istrinya dan mengecupnya dalam.
Esmeralda menyandarkan kepalanya pada bahu suaminya. “Terimakasih pangeranku. Aku tak tahu bagaimana membalas semua yang kau lakukan untukku. Bahkan rasanya kata terimakasih pun tidak cukup kuucapkan seribu kali padamu. Rasanya aku manusia paling beruntung di dunia ini. Jika tuhan yang sering dikatakan para believer itu benar ada dan merencanakan semua ini untukku, aku akan menjadi bagian dari mereka”.
Agaknya Areeha sedikit terkejut dengan apa yang dikatakan Esmeralda. Dia terdiam beberapa saat, lalu menarik nafas panjang. “Agaknya aku pun akan melakukan hal yang sama”.
Esmeralda tidak menyangka suaminya akan menjawab seperti itu. seketika itu dia menatap dalam mata suaminya. Ada sebuah bahasa yang tidak dapat dijelaskan pada tatapannya itu.
Areeha sadar bahwa istri tercintanya sedang menatapnya. Dia memelankan laju mobil yang sedang melaju pada jalan yang sepi itu, lalu menatap balik mata istrinya dalam. Saat itu mereka berdua sedang melakukan sebuah percakapan yang hanya dapat dimengerti oleh manusia-manusia yang sedang dimabuk cinta.
Lalu muncul sebuah rasa yang sangat Areeha kenali dalam dirinya. Dia mengarahkan mobilnya menuju tepi jalan, matanya tetap menatap dalam, bahkan semakin dalam, bahasa antara mereka melaju semakin jauh.
Mobil yang mereka tumpangi sudah berada di tepi jalan. Areeha mendekatkan wajahnya pada wajah istrinya perlahan, lalu tangan kanannya mulai membelai wajah wanita yang menjadi cinta dalam diamnya hampir selama tujuh tahun itu. Dengan penuh cinta Esmeralda menutup mata, bahasa yang sedang mereka gunakan merambat naik menuju jenjang yang lebih jauh.
Bibir mereka bertemu. Agaknya apa yang dirasakan Areeha sudah membubung melewati ubun-ubunnya, detik demi detik menjadikan mereka terbakar lebih panas lagi, semakin memburu.
Tangan kanan Areeha dengan seketika menjelajahi dashbord mobil itu, mencari sebuah tombol. Dengan cepat dia dapat menemukannya. Ketika tombol itu telah dia tekan, kaca hitam pekat pelapis kaca mobilnya turun, dan siapapun yang melintasi jalan tersebut tidak dapat melihat apa yang terjadi di dalam sana.
Ya, mereka hanya mampu melihat mobil yang berhenti di bahu jalan itu bergerak-gerak dengan anehnya.


Bersambung



IbnuZayn      

Wednesday, 24 April 2019

Mahasiswa BSA IAIN Salatiga Meraih Juara 3 Lomba Futsal dalam Acara Konsolidasi dan Turnamen Futsal DPW III ITHLA


Dok. Pribadi 
Konsolidasi mahasiswa bahasa Arab se-Jateng dan DIY merupakan salah satu kegiatan yang diadakan oleh Dewan Pimpinan Wilayah III Ithla. Kegiatan ini bertujuan sebagai ajang silaturahmi dan penyelarasan proker HMJ/HMPS PBA dan BSA se-Jateng dan DIY. Tahun ini sebagai tahun perdana dilaksanakan kegiatan tersebut dan akan berlanjut di tahun-tahun berikutnya. Pada tahun perdana ini, dilaksanakan di IAIN Surakarta dan berlangsung selama dua hari yaitu tanggal 12-13 April 2019. Rangkaian kegiatan berupa pertandingan futsal antar instansi dan konsolidasi mahasiswa, yang mana konsolidasi ini berupa pemaparan dan penyelarasan proker dari setiap instansi se-Jateng dan DIY. Untuk pertandingan futsal diikuti oleh beberapa instansi, seperti IAIN Salatiga, IAIN Surakarta, UIN Walisongo Semarang, UIN Sunan Kalijaga, UNSIQ Wonosobo, IAIN Pekalongan, UNNES, UGM, IPMAFA Pati dan IAIN Kudus. Untuk konsolidasi diikuti oleh semua peserta futsal ditambah dari IAIN Purwokerto dan STAISPA Yogyakarta.
Dok. Pribadi
Kegiatan berlangsung sangat meriah dan lancar. Begitu juga dengan pertandingan futsal yang mana dari peserta mengikuti pertandingan dengan antusias. Keantusiasan dan keceriaan juga terlihat dari wajah penonton yang melihat langsung pertandingan dari awal sampai akhir. Pertandingan dimulai pukul 08.00 pagi dan berakhir sore hari. Pertandingan dimenangkan oleh UNSIQ sebagai juara pertama dan UGM sebagai juara kedua, dan untuk juara ketiga dimenangkan oleh BSA IAIN Salatiga. Setelah pertandingan futsal selesai, malam harinya diadakan konsolidasi antar instansi untuk pemaparan dan penyelarasan program kerja HMJ/HMPS. Acara konsolidasi ini melibatkan beberapa instansi dibawah naungan Dewan Pimpinan Wilayah III Ithla. Konsolidasi dimulai pukul 19.00 WIB dan berlangsung sampai hampir larut malam. Konsolidasi berlangsung dengan lancar dan semua peserta dapat mengikutinya dengan antusias. Di hari kedua kegiatan, tidak ada acara selain penutupan kegiatan. Penutupan kegiatan diadakan di pagi harinya dan setelah itu semua peserta meninggalkan tempat kegiatan untuk kembali ke masing-masing instansi. Semua peserta dari beberapa instansi kembali dengan rasa bangga juga bahagia, karena mereka mendapatkan pengalaman, ilmu, dan juga teman dari instansi yang berbeda.

Oleh : Trimo Wati 


Sunday, 21 April 2019

THE PARADOX PARANOIA (Beginning)


“Ada kata terakhir yang ingin kau ucapkan?”. Dia menyeringai. Tangan kirinya mengeluarkan sebuah kain dari kantung seragamnya yang berwarna putih. Ia mulai membersihkan sebuah belati tumpul tidak terlalu besar yang berada di tangan kanannya. Belati itu hampir terlihat berubah merah, bagai darah yang bersimbah.
Orang yang ditanya itu tersenyum. Ia adalah seorang pria dikisaran usia dua puluh sampai dua puluh lima, berperawakan tidak terlalu tinggi, bermata sipit, wajah nyaris tirus, dan telinga yang sedikit besar. Tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang sedang mengelilinginya dengan tatapan brutal saat itu. Ia didudukkan pada sebuah kursi kayu berlengan. Kedua tangan dan kakinya diikat pada lengan dan kaki-kaki kursi. Membuatnya tak dapat bergerak kemana-mana. Sekujur tubuh telanjang dadanya dipenuhi oleh luka. Entah itu sayatan tak berperikemanusiaan, lebam karena pukulan, kuku-kuku yang tercerabut dari buku-bukunya, yang membuatnya tak serupa lagi, semua ia dapatkan sepanjang dijadikan tahanan.
Pada sisi-sisi bibirnya darah menetes secara perlahan namun pasti. wajahnya yang dahulu tampan sekarang sudah tidak terlihat seperti wajah lagi, tertutupi oleh lebam, bengkak, dan memar keunguan. Mata sipitnya bahkan sulit untuk terbuka. Dengan getar tubuh yang pasrah, dan tenaga yang sudah lama musnah, dia masih mampu mengeluarkan sebuah senyuman tulus, yang  membuat beberapa orang itu menatapnya semakin ketus. Sebagian mereka berfikir bahwa pria ini sudah gila dan lebih cocok dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
  Pria yang didudukkan dikursi itu terbatuk, tersedak oleh darah yang keluar dari mulutnya sendiri. Beberapa tetes darah tersebut jatuh ke lantai, menyusul darah-darah lain yang telah mengering jauh sebelumnya. Ia tertawa perlahan, bukan ejekan, apalagi meminta belas kasihan. Lebih seperti orang tertawa karena bahagia mendapatkan sesuatu yang telah ditunggu sepanjang hidupnya. Sangat bahagia, dengan senyuman tulus yang akan sangat sulit dilupa. “Janji sang cahaya... yang diucapkan sang... penyebar cahaya... kepada kami, adalah janji yang benar, sang cahaya pun bukan... zat... yang ingkar...”. Mata pria itu menengadah ke langit, berbinar, berlinangan air mata. Kata-katanya sontak berhenti begitu saja. Orang-orang yang berada disana terdiam. Merasakan segala indra mereka mulai bungkam.
Setelah beberapa lama, ia mulai membuka mulutnya. Terisak-isak. Kebahagiaannya tumpah ruah. Seisi ruangan mulai ketakutan, kecuali satu orang, si pemegang belati. Dia melihat ke arah orang-orang yang mengitarinya. “Kalian, Sang Cahaya mengirimkan Elyas, hambanya yang paling setia untuk menjeputku. Beliau mengirimkan salam kepada kalian”. Omongan pria itu tiba-tiba tidak terbata-bata, walaupun masih dengan air mata yang terus mengalir, ia menyampaikan kalimat-kalimatnya secara berapi-api. Bagaikan menyampaikan nubuat langsung dari Sang Cahaya itu sendiri. “Masih ada waktu. Beliau telah mengirimkan anak-anak terbaiknya pada pintu-pintu hati kalian. Bukalah! Terimalah dia. Dan kalian akan segera mengetahui kebahagiaan macam apa yang sedang aku rasa. Dia akan selalu mendatangi kalian kapan pun kalian bersedia”.
Pria pemegang belati itu menarik dagu pria tersebut dari belakang dengan tangan kirinya, lalu mendekatkan wajahnya pada telinga kanannya. Ia berkata dengan parau, mencoba mengintimidasi. “Cukup bicara mengenai tuhan hayalanmu. Panggil cahaya itu. Katakan padanya aku menunggu. Katakan padanya bahwa dia berhutang padaku seorang ibu. Jika memang kau berhasil bertemu dengannya setelah itu, akan kulakukan padanya apa yang sekarang akan kulakukan padamu”. Belati tumpul ditangan kanannya mulai menggorak leher pria tersebut. Secara perlahan.
Pria itu hampir tidak berteriak sama sekali. Hanya sebuah kalimat yang dikatakannya berulang kali. “Tuhan, aku pulang” dia terdengar bahagia sekali. Orang-orang mulai bergidik. Sangat kontras dengan suara gesekan yang amat kasar antara belati tumpul dengan kulit dan daging. Juga ucapan pria yang digorok seperti domba yang mulai hilang suaranya, menyisakan senyuman disana. raganya telah mati, namun jiwanya menatap Elyas dan dibawa pergi. semua digantikan oleh suara ngilu yang timbul dari bilah belati tumpul yang beradu dengan rawan tulang belakang.
Darah memancar dari rongga leher yang  masih terus dikoyak, menggenangi bagian-bagian dari ruangan gelap yang semakin tidak layak. Orang-orang itu melihat bagaimana seorang pria plontos pimpinan mereka terus berusaha memutuskan kepala dari tempatnya, dengan amarah yang membara dengan sangat kentara. Tak perduli pada cairan merah yang membanjiri seragam putihnya, yang penuh dengan lencana tanda jasa yang entah didapatkan dengan cara apa.
Ruangan tersebut hening. Hanya ada suara gesekan belati dengan daging-daging yang dimotori oleh kesumat yang amat sangat. Leher itu hampir tuntas, saat orang-orang mulai menyadari bahwa ada yang tidak selaras. Darah identik dengan aroma amis, namun yang mereka dapati adalah aroma harum asing, yang membuat orang-orang semakin merinding. Beberapa orang jatuh pingsan, tak kuasa menahan anomali yang semakin membingungkan. Sebagian tetap berdiri, dengan kaki yang bergemetar dan hati yang terus meneriaki harga diri untuk mulai berbalik dan pergi berlari dari tempat ini.   
 Diangkatnya kepala itu tinggi-tinggi, disertai rasa bangga sekaligus benci yang dikontribusikan oleh hati yang mungkin sudah lama mati. Dia berkata “Kalian, kalian adalah saksi. Believer adalah kumpulan manusia gila yang tak pantas mendiami dunia. Mereka kumpulan orang sakit jiwa yang percaya bahwa tuhan ada dan berwujudkan cahaya. Bahwa mereka jasad-jasad hina yang rela melakukan segalanya untuk menyingkirkan kita. Jika kalian bertanya mengapa, akan kujawab. Karena kita berbeda. Karena kita adalah manusia tersesat, bahan bakar alam siksa imajiner mereka yang disebut neraka. Kita harus melawan, sebelum kita habis tak bersisa”.
Pria itu lalu menatap orang-orangnya satu-persatu. Ia menurunkan kepala yang baru saja dia angkat dan menginjaknya dengan satu kaki. “Aku tidak akan bisa melakukan semuanya sendiri. Aku membutuhkan kalian semua untuk melindungi kita dan masa depan keturunan kita, aku membutuhkan kalian untuk menyuarakan ini kepada dunia, aku membutuhkan kalian untuk merubah tatanan dunia yang sudah mereka rubah seenaknya, dan aku membutuhkan kalian, manusia yang menjunjung tinggi logika diatas segalanya”.
“Orang ini, orang ini hanya permulaan. Entah kejutan seperti apa yang sedang menanti kita didepan”.


Bersambung


(IbnuZayn)

Sunday, 14 April 2019

بَلَدُ الأَجْنَبِي

google.com

بَلَدُ الأَجْنَبِي

Perantauan

عَاشَ فِي بَلَدِ الاَجْنَبِى صَعْبَهْ
Hidup di rantau itu berat
مَرَّتْ بِالأَبَاءِ فِي الشَوَارِعِ
Ketemu orang tua di jalan
 وَتَدَكَّرَعَن الوَلِدَينِ فِي البُيُوتِ
 Inget orang tua sendiri di rumah 
مُشَاهَدَةُ الأَطْفَالِ فِى المَدَارِسِ
Inget anak-anak di sekolahan 
وَتَدَكَّرَعَنِ الأِخْوَةِ مَتْرُوكُ بِنَا
Inget adek sendiri yang kita tinggalkan 
ثُمَّ اشْكُرُوا مَنْ مَازَالَ مُوَحّدًا
Maka bersyukurlah kalian yang masih disatukan
قَبْلَ مَا يَعْرِفُ مُرَّالفِرَاقِ مُأَلَّمَا
Sebelum tahu sakit dan pahitnya suatu perpisahan
 اِمْشَاكُ الشَوقِ بَعِيدًا
Menahan  rindu dari kajauhan 
 اَرْجِعُ وَاَنَا رَاسِبٌ
Saya pulang dan saya gagal 
 اَقُولُ لَكِ العَفْوَى يَا اُمي
Ibu maafkan aku

# عَشَافُ الغُرُوبِ
Penikmat senja 

Monday, 8 April 2019

Refleksi : Ilaika – Sya’ir Menyayat Hati, Penyembuh Jiwa

Malam ini hening, tiba-tiba saja kedua mataku membasah karena sesuatu. Padahal, kupikir tak ada sesuatu yang menyedihkan, atau hal-hal aneh yang kurasakan. Aku tidak sedang putus cinta atau bertengkar dengan temanku, atau mendapat nilai buruk di salah satu mata kuliah. Tidak. Kupikir aku tak memiliki masalah cukup serius hingga membuatku menangis. Tapi entah kenapa, aku menangis! Seolah sesuatu entah apa mengaduk-aduk emosiku, sehingga membuat air mata di kedua mata ini mengalir dengan derasnya.

Lama aku mencari penyebab apa yang membuatku jadi seperti ini.  Sebenarnya aku kenapa? Lantas, aku teringat pada sya’ir bahasa Arab yang kini mengalun pelan di telinga hingga memenuhi kepalaku. Melalui headset yang kini terpasang, didukung oleh heningnya malam dan dinginnya suasana, semakin aku menikmati suara merdu pelantunnya, semakin aku menangis. Padahal, sejauh ini aku bahkan tak mengerti apa makna dari sya’ir tersebut. Tidak pula tahu siapa penyanyinya. Tapi yang jelas, sya’ir ini berjudul “Ilaika” karya Imam Syafi’I yang kuunduh beberapa bulan lalu.

Walaupun tercatat sebagai mahasiswa Sastra Arab di salah satu universitas Islam di Salatiga, aku belum juga memahami bahasa Arab secara utuh dan mendalam. Kupikir aku tersesat masuk ke jurusan ini. Namun di sisi lain, aku percaya bahwa tentu saja ada campur tangan Tuhan yang menginginkan suatu kebaikan untukku nantinya.
Namun demikian, siapa yang tidak mengenal Imam Syafi’i? Kurasa semua orang yang memeluk agama Islam bahkan mungkin yang tidak pun, mengenal beliau sebagai ulama madzhab terkemuka, khususnya di Indonesia. Samudera keilmuannya sangat luas, akhlaqnya luar biasa, namun rendah hati serta tawadhu’nya kepada Allah juga tak kalah mengagumkan. Adalah  "أِليك"salah satu sya’ir yang sekaligus menjadi wasiat terakhir beliau. Pada akhirnya, aku baru sadar bahwa sya’ir inilah yang membuat malamku basah karena air mata.

Siapa yang tidak menangis tersedu ketika membaca, apalagi meresapi secara mendalam makna sya’ir yang dituliskan oleh Imam Syafi’I tersebut? Bahkan, secara pribadi aku tidak kuat jika harus membacanya berkali-kali. Selain bait-baitnya sangat menampar, justru hal tersebut membuat air mata tak hentinya menetes, menangisi dosa-dosa yang selama ini dilakukan.
Berikut kutipan terjemahan sya’ir sekaligus wasiat terakhir Imam Syafi’I, yang penulis nukil dari berbagai sumber.



Diriwayatkan dari Imam al-Muzanniy (murid terdekat Imam asy-Syafi’i), dia bertutur: “Aku membesuk asy-Syafi’I ketika beliau ditimpa sakit yang mengantarkannya pada ajal. Aku pun berkata padanya: ‘Bagaimana keadaanmu wahai guru?’

Beliau menjawab: ‘Keadaanku layaknya seseorang yang akan pergi meninggalkan dunia, yang segera akan berpisah dengan saudara, yang sejenak lagi akan meneguk gelas kematian, yang akan bertemu dengan buruknya amalku, yang akan menghadap Allah. Aku tak tahu, apakah ruhku akan terbang melayang menuju surga, hingga aku pantas mengucapkan selamat padanya, ataukah akan terlempar ke neraka, hingga aku berbelasungkawa atasnya (dengan harapan akan ampunan-Nya)’. Kemudian beliau menengadahkan wajah ke langit, seraya bersenandung:
أِلَيْكَ
Kepada-Mu

أِليك أِله الخلق أرفع رغبتي
Kepada-Mu Tuhan sekalian makhluk, ku persembahkan rintihan harapanku
وأن كنتُ يا ذا المن والجودمجرما
Sekalipun aku seorang yang berdosa, wahai yang Maha pemberi dan Maha Pemurah
ولماقساقلبي وضاقت مذاهبي
Bilamana keras hatiku dan terasa sempit perjalananku
جعلت الرجامني لعفوك سلما
Kujadikan harapanku sebagai jalan untuk mengharapkan keampunan-Mu
فمازلتَ ذاعفوعن الذنب لم تزل
Engkau selalu member ampunan bagi dosaku yang tak henti-hentinya kulakukan
تجودوتعفومنة وتكرما
Kau berikan karunia-Mu dan ampunan-Mu sebagai anugerah dan kemuliaan
ألست الذي ربيتني وهديتني
Bukankah Engkau yang memelihara serta member petunjuk kepadaku
ولازلت مناناعليّ ومنعما
Dan selalu memberikan anugerah dan nikmat kepadaku
عسى علام الأِحسان يغفرزلتي
Semoga Dzat yang menguasai kebaikan mengampunkan kesalahanku
ويسترأوزاري وماقدتقدما
Dan menutup dosa-dosaku serta setiap perkara yang telah lalu
فأِن تعف عني تعف عن متمرد
Sekiranya Engkau ampunkan aku, Engkau ampunkan orang yang durhaka
ظلوم غشوم لايزايل مأتما
Kezaliman, penganiayaan yang tak akan terhapus di hari berhimpun kesedihan
وأِن تنتقم مني فلست بايس
Namun jika Engkau membalas siksa terhadapku, aku tidak akan berputus asa
ولوأدخلوانفسي بجرم جهنما
Sekalipun dosa-dosaku itu akan memasukkan diriku ke dalam neraka
فصيحاأِذاماكان في ذكرربه
Dia adalah seorang yang fasih ketika menyebut dan mengingati Rabbnya
وفيماسواه في الورى كان أعجما
Dan bilamana dia bersama selain Tuhannya di dunia ini dia membisu
يقول: حببي أنت سؤلي و بغيتي
Dia (Rasulullah SAW) berkata: Kekasihku, Engkaulah tempatku meminta dan berharap
كفى بك للراجين سؤلاومغنما
Cukuplah Engkau bagi yang berharap sebagai tempat bergantung dan memohon
أصون ودادي أن يدنسه الهوى
Kupelihara kasihku yang dicemari nafsu
وأحفظ عهدالحب أن يتثلما
Dan kujaga kasih yang telah tercalar (rusak)
ففي يقظتي شوقاوفي غفوتي منى
Di saat ku terjaga, aku rindu dan di saat ku terlelap, aku berharap
تلاحق خطوي نشوة وترنما
Mengiringi langkahku dengan penuh semangat dan berulang-ulang
فجرمي عظيم من قديم وحادت
Sesungguhnya dosaku adalah besar sejak dulu dan kini
وعفوك يأتى العبدأعلى وأجسما
Namun (kutahu) keampunanm-Mu yang mendatangi hamba adalah lebih besar (agung) dan lebih mulia”

Melalui sya’ir ini, semoga kita semua bisa memetik pelajaran, bahwa hidup ini hanya semantara. Adalah bodoh jika kita mengisinya dengan berbuat maksiat dan dosa, tanpa diiringi dengan pertaubatan, sekalipun mengakui kebenaran itu pahit.

Akhir kata, terima kasih Ya Allah, telah membuatku menangis malam ini. Semoga kelimpahan dan berkah selalu atas Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman kelak.


Oleh : Risma Ariesta

Kegiatan Rutin Khotmil Qur'an Di Lingkungan Kampus 2 UIN Salatiga

Salatiga- Selasa pagi, tanggal 25 Febuari 2025, Masjid At-Thoyyar yang terletak di kampus 2 UIN Salatiga ramai dengan antusias mahasiswa un...