Sunday, 21 April 2019

THE PARADOX PARANOIA (Beginning)


“Ada kata terakhir yang ingin kau ucapkan?”. Dia menyeringai. Tangan kirinya mengeluarkan sebuah kain dari kantung seragamnya yang berwarna putih. Ia mulai membersihkan sebuah belati tumpul tidak terlalu besar yang berada di tangan kanannya. Belati itu hampir terlihat berubah merah, bagai darah yang bersimbah.
Orang yang ditanya itu tersenyum. Ia adalah seorang pria dikisaran usia dua puluh sampai dua puluh lima, berperawakan tidak terlalu tinggi, bermata sipit, wajah nyaris tirus, dan telinga yang sedikit besar. Tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang sedang mengelilinginya dengan tatapan brutal saat itu. Ia didudukkan pada sebuah kursi kayu berlengan. Kedua tangan dan kakinya diikat pada lengan dan kaki-kaki kursi. Membuatnya tak dapat bergerak kemana-mana. Sekujur tubuh telanjang dadanya dipenuhi oleh luka. Entah itu sayatan tak berperikemanusiaan, lebam karena pukulan, kuku-kuku yang tercerabut dari buku-bukunya, yang membuatnya tak serupa lagi, semua ia dapatkan sepanjang dijadikan tahanan.
Pada sisi-sisi bibirnya darah menetes secara perlahan namun pasti. wajahnya yang dahulu tampan sekarang sudah tidak terlihat seperti wajah lagi, tertutupi oleh lebam, bengkak, dan memar keunguan. Mata sipitnya bahkan sulit untuk terbuka. Dengan getar tubuh yang pasrah, dan tenaga yang sudah lama musnah, dia masih mampu mengeluarkan sebuah senyuman tulus, yang  membuat beberapa orang itu menatapnya semakin ketus. Sebagian mereka berfikir bahwa pria ini sudah gila dan lebih cocok dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
  Pria yang didudukkan dikursi itu terbatuk, tersedak oleh darah yang keluar dari mulutnya sendiri. Beberapa tetes darah tersebut jatuh ke lantai, menyusul darah-darah lain yang telah mengering jauh sebelumnya. Ia tertawa perlahan, bukan ejekan, apalagi meminta belas kasihan. Lebih seperti orang tertawa karena bahagia mendapatkan sesuatu yang telah ditunggu sepanjang hidupnya. Sangat bahagia, dengan senyuman tulus yang akan sangat sulit dilupa. “Janji sang cahaya... yang diucapkan sang... penyebar cahaya... kepada kami, adalah janji yang benar, sang cahaya pun bukan... zat... yang ingkar...”. Mata pria itu menengadah ke langit, berbinar, berlinangan air mata. Kata-katanya sontak berhenti begitu saja. Orang-orang yang berada disana terdiam. Merasakan segala indra mereka mulai bungkam.
Setelah beberapa lama, ia mulai membuka mulutnya. Terisak-isak. Kebahagiaannya tumpah ruah. Seisi ruangan mulai ketakutan, kecuali satu orang, si pemegang belati. Dia melihat ke arah orang-orang yang mengitarinya. “Kalian, Sang Cahaya mengirimkan Elyas, hambanya yang paling setia untuk menjeputku. Beliau mengirimkan salam kepada kalian”. Omongan pria itu tiba-tiba tidak terbata-bata, walaupun masih dengan air mata yang terus mengalir, ia menyampaikan kalimat-kalimatnya secara berapi-api. Bagaikan menyampaikan nubuat langsung dari Sang Cahaya itu sendiri. “Masih ada waktu. Beliau telah mengirimkan anak-anak terbaiknya pada pintu-pintu hati kalian. Bukalah! Terimalah dia. Dan kalian akan segera mengetahui kebahagiaan macam apa yang sedang aku rasa. Dia akan selalu mendatangi kalian kapan pun kalian bersedia”.
Pria pemegang belati itu menarik dagu pria tersebut dari belakang dengan tangan kirinya, lalu mendekatkan wajahnya pada telinga kanannya. Ia berkata dengan parau, mencoba mengintimidasi. “Cukup bicara mengenai tuhan hayalanmu. Panggil cahaya itu. Katakan padanya aku menunggu. Katakan padanya bahwa dia berhutang padaku seorang ibu. Jika memang kau berhasil bertemu dengannya setelah itu, akan kulakukan padanya apa yang sekarang akan kulakukan padamu”. Belati tumpul ditangan kanannya mulai menggorak leher pria tersebut. Secara perlahan.
Pria itu hampir tidak berteriak sama sekali. Hanya sebuah kalimat yang dikatakannya berulang kali. “Tuhan, aku pulang” dia terdengar bahagia sekali. Orang-orang mulai bergidik. Sangat kontras dengan suara gesekan yang amat kasar antara belati tumpul dengan kulit dan daging. Juga ucapan pria yang digorok seperti domba yang mulai hilang suaranya, menyisakan senyuman disana. raganya telah mati, namun jiwanya menatap Elyas dan dibawa pergi. semua digantikan oleh suara ngilu yang timbul dari bilah belati tumpul yang beradu dengan rawan tulang belakang.
Darah memancar dari rongga leher yang  masih terus dikoyak, menggenangi bagian-bagian dari ruangan gelap yang semakin tidak layak. Orang-orang itu melihat bagaimana seorang pria plontos pimpinan mereka terus berusaha memutuskan kepala dari tempatnya, dengan amarah yang membara dengan sangat kentara. Tak perduli pada cairan merah yang membanjiri seragam putihnya, yang penuh dengan lencana tanda jasa yang entah didapatkan dengan cara apa.
Ruangan tersebut hening. Hanya ada suara gesekan belati dengan daging-daging yang dimotori oleh kesumat yang amat sangat. Leher itu hampir tuntas, saat orang-orang mulai menyadari bahwa ada yang tidak selaras. Darah identik dengan aroma amis, namun yang mereka dapati adalah aroma harum asing, yang membuat orang-orang semakin merinding. Beberapa orang jatuh pingsan, tak kuasa menahan anomali yang semakin membingungkan. Sebagian tetap berdiri, dengan kaki yang bergemetar dan hati yang terus meneriaki harga diri untuk mulai berbalik dan pergi berlari dari tempat ini.   
 Diangkatnya kepala itu tinggi-tinggi, disertai rasa bangga sekaligus benci yang dikontribusikan oleh hati yang mungkin sudah lama mati. Dia berkata “Kalian, kalian adalah saksi. Believer adalah kumpulan manusia gila yang tak pantas mendiami dunia. Mereka kumpulan orang sakit jiwa yang percaya bahwa tuhan ada dan berwujudkan cahaya. Bahwa mereka jasad-jasad hina yang rela melakukan segalanya untuk menyingkirkan kita. Jika kalian bertanya mengapa, akan kujawab. Karena kita berbeda. Karena kita adalah manusia tersesat, bahan bakar alam siksa imajiner mereka yang disebut neraka. Kita harus melawan, sebelum kita habis tak bersisa”.
Pria itu lalu menatap orang-orangnya satu-persatu. Ia menurunkan kepala yang baru saja dia angkat dan menginjaknya dengan satu kaki. “Aku tidak akan bisa melakukan semuanya sendiri. Aku membutuhkan kalian semua untuk melindungi kita dan masa depan keturunan kita, aku membutuhkan kalian untuk menyuarakan ini kepada dunia, aku membutuhkan kalian untuk merubah tatanan dunia yang sudah mereka rubah seenaknya, dan aku membutuhkan kalian, manusia yang menjunjung tinggi logika diatas segalanya”.
“Orang ini, orang ini hanya permulaan. Entah kejutan seperti apa yang sedang menanti kita didepan”.


Bersambung


(IbnuZayn)

2 comments:

Kegiatan Rutin Khotmil Qur'an Di Lingkungan Kampus 2 UIN Salatiga

Salatiga- Selasa pagi, tanggal 25 Febuari 2025, Masjid At-Thoyyar yang terletak di kampus 2 UIN Salatiga ramai dengan antusias mahasiswa un...