“Ada kata terakhir yang ingin kau ucapkan?”. Dia
menyeringai. Tangan kirinya mengeluarkan sebuah kain dari kantung seragamnya
yang berwarna putih. Ia mulai membersihkan sebuah belati tumpul tidak terlalu
besar yang berada di tangan kanannya. Belati itu hampir terlihat berubah
merah, bagai darah yang bersimbah.
Orang yang ditanya itu tersenyum. Ia adalah seorang pria
dikisaran usia dua puluh sampai dua puluh lima, berperawakan tidak terlalu
tinggi, bermata sipit, wajah nyaris tirus, dan telinga yang sedikit besar.
Tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang sedang mengelilinginya dengan
tatapan brutal saat itu. Ia didudukkan pada sebuah kursi kayu berlengan. Kedua
tangan dan kakinya diikat pada lengan dan kaki-kaki kursi. Membuatnya tak dapat
bergerak kemana-mana. Sekujur tubuh telanjang dadanya dipenuhi oleh luka. Entah
itu sayatan tak berperikemanusiaan, lebam karena pukulan, kuku-kuku yang tercerabut dari
buku-bukunya, yang membuatnya tak serupa lagi, semua ia dapatkan sepanjang dijadikan tahanan.
Pada sisi-sisi bibirnya darah menetes secara perlahan
namun pasti. wajahnya yang dahulu tampan sekarang sudah tidak terlihat seperti
wajah lagi, tertutupi oleh lebam, bengkak, dan memar keunguan. Mata sipitnya
bahkan sulit untuk terbuka. Dengan getar tubuh yang pasrah, dan tenaga yang
sudah lama musnah, dia masih mampu mengeluarkan sebuah senyuman tulus,
yang membuat beberapa orang itu
menatapnya semakin ketus. Sebagian mereka berfikir bahwa pria ini sudah gila
dan lebih cocok dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
Pria yang
didudukkan dikursi itu terbatuk, tersedak oleh darah yang keluar dari mulutnya
sendiri. Beberapa tetes darah tersebut jatuh ke lantai, menyusul darah-darah
lain yang telah mengering jauh sebelumnya. Ia tertawa perlahan, bukan ejekan,
apalagi meminta belas kasihan. Lebih seperti orang tertawa karena bahagia
mendapatkan sesuatu yang telah ditunggu sepanjang hidupnya. Sangat bahagia,
dengan senyuman tulus yang akan sangat sulit dilupa. “Janji sang cahaya... yang
diucapkan sang... penyebar cahaya... kepada kami, adalah janji yang benar, sang
cahaya pun bukan... zat... yang ingkar...”. Mata pria itu menengadah ke langit,
berbinar, berlinangan air mata. Kata-katanya sontak berhenti begitu saja.
Orang-orang yang berada disana terdiam. Merasakan segala indra mereka mulai
bungkam.
Setelah beberapa lama, ia mulai membuka mulutnya. Terisak-isak.
Kebahagiaannya tumpah ruah. Seisi ruangan mulai ketakutan, kecuali satu orang,
si pemegang belati. Dia melihat ke arah orang-orang yang mengitarinya. “Kalian, Sang Cahaya
mengirimkan Elyas, hambanya yang paling setia untuk menjeputku. Beliau
mengirimkan salam kepada kalian”. Omongan pria itu tiba-tiba tidak
terbata-bata, walaupun masih dengan air mata yang terus mengalir, ia menyampaikan
kalimat-kalimatnya secara berapi-api. Bagaikan menyampaikan nubuat langsung
dari Sang Cahaya itu sendiri. “Masih ada waktu. Beliau telah mengirimkan
anak-anak terbaiknya pada pintu-pintu hati kalian. Bukalah! Terimalah dia. Dan
kalian akan segera mengetahui kebahagiaan macam apa yang sedang aku rasa. Dia
akan selalu mendatangi kalian kapan pun kalian bersedia”.
Pria pemegang belati itu menarik dagu pria tersebut dari
belakang dengan tangan kirinya, lalu mendekatkan wajahnya pada telinga
kanannya. Ia berkata dengan parau, mencoba mengintimidasi. “Cukup bicara
mengenai tuhan hayalanmu. Panggil cahaya itu. Katakan padanya aku menunggu.
Katakan padanya bahwa dia berhutang padaku seorang ibu. Jika memang kau
berhasil bertemu dengannya setelah itu, akan kulakukan padanya apa yang
sekarang akan kulakukan padamu”. Belati tumpul ditangan kanannya mulai
menggorak leher pria tersebut. Secara perlahan.
Pria itu hampir tidak berteriak sama sekali. Hanya sebuah
kalimat yang dikatakannya berulang kali. “Tuhan, aku pulang” dia terdengar
bahagia sekali. Orang-orang mulai bergidik. Sangat kontras dengan suara gesekan
yang amat kasar antara belati tumpul dengan kulit dan daging. Juga ucapan pria
yang digorok seperti domba yang mulai hilang suaranya, menyisakan senyuman disana.
raganya telah mati, namun jiwanya menatap Elyas dan dibawa pergi. semua
digantikan oleh suara ngilu yang timbul dari bilah belati tumpul yang beradu
dengan rawan tulang belakang.
Darah memancar dari rongga leher yang masih terus dikoyak, menggenangi
bagian-bagian dari ruangan gelap yang semakin tidak layak. Orang-orang itu
melihat bagaimana seorang pria plontos pimpinan mereka terus berusaha
memutuskan kepala dari tempatnya, dengan amarah yang membara dengan sangat
kentara. Tak perduli pada cairan merah yang membanjiri seragam putihnya, yang
penuh dengan lencana tanda jasa yang entah didapatkan dengan cara apa.
Ruangan tersebut hening. Hanya ada suara gesekan belati
dengan daging-daging yang dimotori oleh kesumat yang amat sangat. Leher itu
hampir tuntas, saat orang-orang mulai menyadari bahwa ada yang tidak selaras.
Darah identik dengan aroma amis, namun yang mereka dapati adalah aroma harum
asing, yang membuat orang-orang semakin merinding. Beberapa orang jatuh pingsan, tak kuasa menahan
anomali yang semakin membingungkan. Sebagian tetap berdiri, dengan kaki yang
bergemetar dan hati yang terus meneriaki harga diri untuk mulai berbalik dan
pergi berlari dari tempat ini.
Diangkatnya kepala
itu tinggi-tinggi, disertai rasa bangga sekaligus benci yang dikontribusikan
oleh hati yang mungkin sudah lama mati. Dia berkata “Kalian, kalian adalah
saksi. Believer adalah kumpulan manusia gila yang tak pantas mendiami
dunia. Mereka kumpulan orang sakit jiwa yang percaya bahwa tuhan ada dan
berwujudkan cahaya. Bahwa mereka jasad-jasad hina yang rela melakukan segalanya
untuk menyingkirkan kita. Jika kalian bertanya mengapa, akan kujawab. Karena
kita berbeda. Karena kita adalah manusia tersesat, bahan bakar alam siksa
imajiner mereka yang disebut neraka. Kita harus melawan, sebelum kita habis tak
bersisa”.
Pria itu lalu menatap orang-orangnya satu-persatu. Ia
menurunkan kepala yang baru saja dia angkat dan menginjaknya dengan satu kaki.
“Aku tidak akan bisa melakukan semuanya sendiri. Aku membutuhkan kalian semua
untuk melindungi kita dan masa depan keturunan kita, aku membutuhkan kalian
untuk menyuarakan ini kepada dunia, aku membutuhkan kalian untuk merubah
tatanan dunia yang sudah mereka rubah seenaknya, dan aku membutuhkan kalian,
manusia yang menjunjung tinggi logika diatas segalanya”.
“Orang ini, orang ini hanya permulaan. Entah kejutan
seperti apa yang sedang menanti kita didepan”.
Bersambung
(IbnuZayn)
Merinding 😮
ReplyDeleteLanjut yang part 2 min.. ditunggu🤣
ReplyDelete