KKL, Kesenangan Atau Momok Bagi Mahasiswa?
Oleh: Mafaza Bagas 53040210019
Kuliah Kerja Lapangan atau yang biasa
disingkat dengan KKL, adalah kegiatan yang memadukan observasi, kunjungan dan
wisata mahasiswa ke tempat-tempat, instansi, ataupun lembaga yang berkaitan
dengan disiplin ilmu ataupun bidang yang ditekuni mahasiswa di perguruan
tinggi. Tentunya kegiatan ini juga memiliki nilai SKS di dalamnya, oleh karena
itu, mahasiswa diwajibkan untuk mengikuti kegiatan ini, baik secara mandiri maupun
berkelompok, tetapi untuk mempermudah biasanya disarankan untuk berkelompok
jika tidak ada suatu halangan yang berat.
Namun, apakah hal ini menjadi kesenangan
atau malah menjadi momok bagi mahasiswa? Pasalnya kegiatan jni juga membutuhkan
biaya yang tidak murah, dan hal ini mungkin menjadi problem bagi beberapa
mahasiswa, karena kita juga tidak tahu mengenai latar belakang ekonomi
tiap-tiap mahasiswa. Jika dilihat dari tenggat pembayaran kemarin, masih banyak
mahasiswa yang terlambat dalam membayar iuran KKL, dari hal tersebut kita bisa
menerka-nerka, apakah iuran yang cukup besar ini memberatkan bagi mahasiswa?
Akan tetapi, jika ditanya langsung pasti akan dijawab dengan kata “tidak”,
karena apa? Karena mereka juga ingin mengikuti kegiatan ini, walaupun terdapat sedikit
problem dalam hal biaya, dan mereka mau tidak mau untuk segera menginformasikan
kepada orang tua mereka mengenai hal ini, namanya juga orang tua, pasti,
selalu, mesti, mengupayakan yang terbaik untuk anak mereka, apapun
rintangan yang akan mereka lalui. Sebuah keberuntungan jika keluarga itu
mempunyai tabungan, jika tidak? Pasti akan kesusahan, beruntungnya pembayaran
itu diperpanjang hingga selepas KKL, tetapi di pikiran orang tua biaya kesana
tidak hanya untuk iuran, masih ada sangu untuk membeli barang yang anak
mereka inginkan atau untuk membeli oleh-oleh, tetapi lupakan saja lah, karena
ketika saya lihat dilapangan semua orang tertawa gembira, meskipun kita tidak
tahu kesedihan apa yang menimpannya.
Berlanjut ke kunjungan pertama ke Markaz
Arabiyah yang beralamat di Pare, Kediri, disini saya melihat bahwa Markaz ini
memiliki pembelajaran yang inovatif, tetapi yang sangat saya sayangkan pembelajaran
ini cenderung bersifat kekanak-kanakan dan terlebih lagi dibaluti dengan asmara-asmara
ala” anak jaman sekarang, kurang relevan untuk seorang penuntut ilmu tulen
karena bisa menjadi generasi yang melankolis.
Di Pulau Bali, kita memiliki 3 kunjungan.
Pertama, di Balai Bahasa Provinsi Bali, Kedua di Bali TV, Ketiga di HPI
(Himpunan Pramuwisata Indonesia) Bali, dari ketiga kunjungan tersebut, menurut
pengamatan saya, yang paling mendapat benefit/ manfaat dari menjalin
hubungan antara kampus dan instansi adalah di HPI, karena secara tidak langsung
kita memiliki jalur untuk masuk kedalam HPI guna menjadi pramuwisata berbahasa
Arab, di katakan pula bahwa HPI Bali kekurangan pramuwisata yang bisa berbahasa
Arab, diantara 6000an orang hanya ada 2 yang bisa berbahasa Arab. Kunjungan
turis timur tengah ini diawali oleh kedatangan Raja Salman di Pulau Bali. Di dua tempat lainnya saya merasakan bahwa
kampus hanya bisa menjalin hubungan dan memperoleh Ilmu tentang instansi
tersebut, namun tidak dengan jalur menuju dunia kerja.
Ketika berkunjung ke tempat kunjungan KKL,
Bapak dan Ibu Dosen menginstruksikan kepada para mahasiswa untuk bertanya mengenai
apa yang ada dalam instansi-instansi tersebut. Memang itu baik, tetapi di lain
sisi, mahasiswa hanya bersifat asal/ngawur dalam melontarkan pertanyaan,
dan mungkin pertanyaan itu sudah dijelaskan atau mungkin tidak perlu dijawab
secara frontal. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena, dari sudut pandang
mahasiswa, mungkin mereka bisa diakui jika ia terlihat kritis dalam menyikapi
suatu hal, tetapi yang terjadi malah tidak sesuai dengan kriteria kritis yang
dimaksud, saya juga belum menemukan kata-kata “bertanya kritis”, tetapi yang
ada adalah “berpikir kritis”, kritis itu dalam akal bukan dalam mulut, adapun
pertanyaan itu adalah buah dari berpikir kritis, hal semacam ini mestinya harus
di perhatikan bagi tiap-tiap mahasiswa, agar tidak terjadi suatu hal “sok
kritis” berada di lingkungan akademis.
Selain berkunjung ke instansi-instansi yang
berada di Bali, kami juga berkunjung ke tempat-tempat wisata di Bali, meskipun tidak
se-lama waktu berkunjung ke instansi, tetapi hal ini cukup menghibur para
peserta KKL. Saya tidak menyangka banyak masjid-masjid besar di Pulau Bali ini,
itu menunjukan bahwa di Bali sangat menjunjung toleransi antar umar beragama,
meskipun wisata di Bali adalah wisata agama, tetapi tidak menutup kemungkinan
bahwa terdapat sarana-sarana beribadah untuk agama lain selain agama Hindu. HPI
juga sedang menggemborkan wisata halal untuk umat muslim lokal dan internasional,
guna menambah wisatawan muslim untuk berkunjung ke Pulau Bali. Akan tetapi, HPI
Bali juga sedikit kebingungan, karena mereka juga harus meriset para wisatawan
yang beragama Islam untuk ditanyai perihal, apa saja yang diinginkan wisatawan
muslim ketika berwisata di Pulau ini.